SATU

Ini bukan review tapi view.

DUA

Asyik kan sekali-kali lihat yang oke.

TIGA

Segar di mata nyaman di hati.

EMPAT

Mata lepas pikiran bebas.

LIMA

Akhirnya badan kembali fresh siap kerja lagi.

Tuesday, December 27, 2011

Inilah Pendapat Pakar Humor tentang Juara Stand Up Comedy Kompas TV

Herman Hasyim, creative writer

hiburan.kompasiana.com

Lomba Stand Up Comedy (SUC) yang dihelat Kompas TV telah rampung. Di babak final, Ryan berhasil mengungguli Akbar. Jakarta menang atas Surabaya.
Darminto M Sudarno, salah satu pakar humor yang dimiliki negeri ini, tak melewatkan momen itu. Di Facebook, dini hari tadi, mantan pemimpin redaksi majalah Humor dan penulis banyak buku tentang humor itu membuat catatan khusus.
Mengutip WS Rendra, Mas Darminto berpendapat, sebaiknya tidak ada nomor satu atau nomor dua untuk karya seni.
“Risiko yang paling sulit dihindari kalau seni dilombakan adalah pasti ada pihak yang merasa terluka citarasa atau taste-nya. Sejarah lomba seni selalu mengulang “tragedi” itu. Luka-luka yang lain bisa juga mengenai  persepsi tentang estetika, nilai dan masalah subyektif lainnya,” ujarnya.
Mas Darminto lantas menyuguhkan plus-minus kedua finalis. Kelebihan Ryan, menurutnya, ia kuat dalam mengolah pertunjukan; flow/speed tergarap, sehingga lolos dari situasi yang stag; jeda di-manage dengan baik dan audience memberikan feed back yang optimal.
Kekurangan Ryan, di mata Mas Darminto, terletak pada tema. “Meski sanggup mengolah hal-hal kecil dan sehari-hari menjadi sesuatu yang menarik namun kurang memberi kontribusi intelektual dan bahasa yang sangat ABG, hanya dapat dipahami oleh publik (TV) yang sangat segmented,” tuturnya.
Sementara itu, kelebihan Akbar adalah perform menawan dan relatif mulus, karena jam terbangnya lumayan memadai; flow/speed meski terkadang ada stagnya, relatif dia bisa melarikan itu ke kilah yang reasonable; penonton (bukan orang bawaannya, artinya lebih fair) rata-rata memberikan respon dan interaksi yang cukup meriah, bahkan di akhir perform-nya di Grand Final, tepuk tangan yang diberikan padanya sangat panjang; dan materi atau content justru lebih kaya dan bervariasi, bahkan ketika menyitir masalah sosial politik, ia tampak lebih sanggup dan kuat dibanding Ryan.
“Salah satu goal pertunjukan Stand Up Comedy yang berhasil adalah mampu memberikan renungan intelektual, setelah penonton pulang,” ia menegaskan.
Sisi minus Akbar, berdasarkan pengamatan Mas Darminto, ialah sering keceplosan atau ikut hanyut menertawakan leluconnya sendiri. “Komedian profesional tahu posisinya sebagai pemain, bukan merangkap sebagai penonton. Artinya komedian yang menertawakan leluconnya sendiri tidak tahu artinya profesi,” tandasnya.
Setelah menimbang plus-minus itu, tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras dewan juri dan pihak Kompas TV, Mas Darminto menyodorkan dua kemungkinan.
“Pertama, Akbar yang juara pertama. Karena selain wawasannya luas, lebih pas bagi publik TV yang notabene berpenonton heterogen. Dan kedua, baik Ryan maupun Akbar dinobatkan jadi Juara Pertama,” tuturnya.
***
Butet Kartaredjasa—anggota Dewan Juri SUC Kompas TV bersama Indro Warkop dan Astrid—rupanya sepakat dengan kemungkinan kedua yang disodorkan Darminto M Sudarno.
Jika dimungkinkan, sakjane (sebenarnya) aku lebih suka jika keduanya Juara I, Bung,” Butet berkomentar.
Danny de Humor, pengamat humor yang cukup senior, memperkukuh kemungkinan yang dibuat Mas Darminto.
“Tujuan stand up comedy adalah untuk mencari lawakan yg cerdas. Oleh karena itu, saya berpendapat, Ryan menang bagi para juri, Akbar menang di hati penonton yang egois terhadap materi yg cerdas yg proses kreatifnya tidak mudah!” tulisnya.
Pendapat lain disampaikan Bambang Haryanto, blogger dan penulis buku humor. “Saya ingin menambahkan tentang tiga tugas kaum komedian tunggal, yaitu berusaha membuat audien to laugh, to think and to change,” ungkapnya.
Sayang sekali, Iwel Wel—komedian yang kerap mondar-mandir di layar kaca—tak melontarkan opininya, walau ikut menyimak diskusi itu.
Saya, si anak kemarin sore yang kebetulan diajak nimbrung, hanya menambahkan dua hal—di luar materi lawakan.
Pertama, saya punya dugaan kuat, dewan juri sebenarnya tidak bulat dalam mengambil keputusan. Pengakuan Mas Butet adalah salah satu buktinya. Dengan demikian, muncullah apa yang disebut “dissenting opinion”. Katakanlah, misalnya, Mas Butet lebih condong ke Akbar dan Mas Indro ke Ryan. Dengan demikian, suara Astrid—si artis muda itu—jadi penentu.
Mendadak saya teringat komentar Astrid pada 3 Desember 2011, setelah Ryan tampil. Dengan lagak ABG yang sedang dirundung asmara, Astrid berkata, “Ryan, kalau Akbar tadi kan obat penurun panas. Kalau kamu tuh, tahu nggak apa? Kamu tuh…. Kamu tuh vitamin buatku, Ryan. Membuat hatiku berwarna, mataku berbinar-binar, hatiku berdansa. Kamu sempurna, Ryan.”
Kedua, perhelatan SUC Kompas TV ini untuk kesekian kali meneguhkan superioritas “lu-gue” ketimbang “aku-sampean”. Pihak Kompas TV tentu punya pertimbangan sendiri soal ini. Apa lagi kalau bukan pertimbangan pasar?
Kita tahu, Kompas TV sejauh ini hadir di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, Palembang, Pontianak, Makassar, Bali. Meski memasang tagline “Menginspirasi Indonesia”, setelah perhelatan SCU ini rampung, saya kuatir Kompas TV hanya akan memperpanjang daftar penyelanggara siaran TV yang Jakarta centris.
Salam humor!
Rawamangun, 18 Desember 2011

 

 

Catatan tentang Juara Lomba Stand Up Comedy Kompas TV


 

Risiko yang paling sulit dihindari kalau seni dilombakan adalah pasti ada pihak yang merasa terluka citarasa atau taste-nya. Sejarah lomba seni selalu mengulang “tragedi” itu. Luka-luka yang lain bisa juga mengenai  persepsi tentang estetika, nilai dan masalah subyektif lainnya. Setidaknya itulah catatan yang dapat saya sampaikan seusai menonton total Stand Up Comedy Kompas TV dari awal hingga akhir grand final. Pesan yang pernah disampaikan WS Rendra (Mempertimbangkan Tradisi), masih tetap relevan sepanjang zaman, bahwa sebaiknya tidak ada nomor satu atau nomor dua untuk karya seni.

Keputusan Dewan Juri yang terdiri dari Butet Kartaredjasa, Astrid dan Indro (Warkop) akhirnya jatuh pada Ryan Adriandhy. Sementara Nurul Akbar, menempati juara kedua. Bisa dipahami, mengapa Dewan Juri menjatuhkan pilihannya pada Ryan meskipun penonton TV mungkin punya pertimbangan berbeda.


Tanpa mengecilkan kerja keras Dewan Juri dan Kompas TV, yang mungkin punya target khusus sebagaimana dirumuskan dalam kriteria; iseng-iseng saya coba menyusun plus-minus masing-masing petarung di Grand Final ini.
Ryan, aspek plus-nya: kuat dalam mengolah pertunjukan; flow/speed tergarap, sehingga lolos dari situasi yang stag; jeda di-manage dengan baik dan audience memberikan feed back yang optimal. Aspek minus-nya: tema, meski sanggup mengolah hal-hal kecil dan sehari-hari menjadi sesuatu yang menarik namun kurang memberi kontribusi intelektual dan bahasa yang sangat ABG, hanya dapat dipahami oleh publik (TV) yang sangat segmented.
Akbar, aspek plus-nya: perform menawan dan relatif mulus, karena jam terbangnya lumayan memadai; flow/speed meski terkadang ada stagnya, relatif dia bisa melarikan itu ke kilah yang reasonable; penonton (bukan orang bawaannya, artinya lebih fair) rata-rata memberikan respon dan interaksi yang cukup meriah, bahkan di akhir perform-nya di Grand Final, tepuk tangan yang diberikan padanya sangat panjang; dan materi atau content justru lebih kaya dan bervariasi, bahkan ketika menyitir masalah sosial politik, ia tampak lebih sanggup dan kuat dibanding Ryan (salah satu goal pertunjukan Stand Up Comedy yang berhasil adalah mampu memberikan renungan intelektual, setelah penonton pulang). Aspek minus-nya: Akbar sering keceplosan atau keprucut hanyut “terbiasa” menertawakan leluconnya sendiri. Komedian profesional tahu posisinya sebagai pemain, bukan merangkap sebagai penonton. Artinya komedian yang menertawakan leluconnya sendiri tidak tahu artinya profesi.

Dengan kata lain, kalau saya harus memilih mana yang juara satu, maka hanya ada dua kemungkinan: pertama Akbar yang juara pertama (karena selain wawasannya luas, lebih pas bagi publik TV yang notabene berpenonton heterogen) dan kedua, baik Ryan maupun Akbar dinobatkan jadi Juara Pertama.
Menarik kata Butet, bagi seorang player sejati (pemain kelas pendekar) teori-teori stand up comedy seperti: one liner, rule of three, exaggeration/understatement, observational humor, parody dan lain-lain bukannya tidak penting, tetapi semua jurus dan teori itu sudah seharusnya merasuk secara integrated ke dalam action si pemain. Pemain tidak perlu menjelas-jelaskan masalah itu, karena semua gerak atau gaya sudah menjadi refleks dan menjadi style dirinya. Bagi penonton pada akhirnya hanya melihat penampilan yang ada di depan mereka itu  bagus atau buruk, menarik atau tidak menarik. Begitulah (Darminto M Sudarmo).

 Ahmed T-sar Blenzinky, Jadud Sumarno, Imam Tantowi dan 11 lainnya menyukai ini.

  • 1 kali dibagikan

    • Butet Kartaredjasa Jika dimungkinkan, sakjane aku lebih suka jika keduanya Juara I bung
      18 Desember pukul 0:46 ·  4

    • Tony Trie Artono Bangsa kita masih condong bersimpati kepada Comedian yang menggunakan mimik lucu , ketimbang fokus kepada "power of humor speech" nya!
      18 Desember pukul 0:48 ·  1

    • Darminto M Sudarmo iya Kang... anda bener, keduanya punya kekuatan n kekurangan masing2...
      18 Desember pukul 0:50 · 

    • Darminto M Sudarmo Tony Trie Artono ... begitu ya pak ...bahasa visual mungkin gak bikin capek utk mikir...
      18 Desember pukul 0:59 ·  2

    • Tony Trie Artono Mas Darminto M Sudarmo : saya jadi kasihan kalau melihat Butet Kartareja berakting dalam Sentilan-sentilun! Padahal seharusnya bisa lebih berkonsentrasi kepada isi dialognya , dari pada memonyong-monyongkan bibir!! Tapi rupanya Butet paham benar bahwa bangsa kita ini tingkat kepuasannya memang baru segitunya!
      18 Desember pukul 1:10 · · 5

    • Darminto M Sudarmo pemain yg baik, siap utk semua peran; artis yg cantik pun harus siap jadi pembokat atau psk sekalipun ....tapi kang butet mungkin punya alasan lain...?
      18 Desember pukul 1:14 · 1

    • Koes Komo asik dibaca dan perlu ini pak.... kamsia..... :)
      18 Desember pukul 3:50 ·  · 1

    • Tris Sakeh Kalo saja
      lombanya berupa audisi lawak, maka jurinya adalah penonton/pendengar. Tapi lomba yang di Kompas tv itu kan jurinya udah tertentu, jadi keputusan menang kalahnya ya pada ketiga juri itu. Kalo Butet komen meski secara informal "......... aku lebih suka keduanya juara I", menunjukkan bahwa Butet tidak konsekuen sebagai juri.
      Menyentil soal "Sentilan Sentilun", itu sajian konvensional, (sengaja?) ga melibatkan jiwa muda (aku manula tapi jiwaku muda) -- jadi mending aku diem aja wong merasa ga dilibatken. Salam.

      18 Desember pukul 4:13 · · 5

    • Rathno Desain Lebih enakan jd juri lomba matematika Mas........:)
      18 Desember pukul 6:23 ·  1

    • Iwel Sastra terima kasih tulisannya mas
      18 Desember pukul 7:30 ·  1

    • Darminto M Sudarmo Koes Komo ... ning negoro londo kono opo isih ana tontonan kaya ngene, dik?
      18 Desember pukul 9:03 · · 1

    • Darminto M Sudarmo Mas Tris Sakeh yang berjiwah muda...hhhh... terimaksih komennya! moga yg berkaitan berkesempatan merespon...
      18 Desember pukul 9:05 ·

    • Darminto M Sudarmo Rathno Desain .... memang sesungguhnya bidang2 yg ada pertanyaan dan jawaban obyektif yg paling aman dilombakan .....
      18 Desember pukul 9:07 · 

    • Darminto M Sudarmo Iwel Sastra .... sama-sama mas....
      18 Desember pukul 9:08 · 

    • Hertanto Soebijoto Jika persoalannya telah memasuki ranah industri hiburan, maka seringkali logika Budaya adiluhung kerap berbenturan dgn logika suply and demand. Mungkin ini menjelaskan mengapa tari-tarian daerah (tradisional?) dari berbagai daerah di Indonesia kurang diresppn oleh industri TV dibanding dance yg biasa digunakan utk penari latar. Ini Salah satu contoh, menurut pendapatku lho...
      18 Desember pukul 9:08 ·  · 1

    • Darminto M Sudarmo Hertanto Soebijoto ... nah kalau logikanya itu, mengapa justru yg menang tergolong produk yang sangat segmented (sy banyak terima sms dari temen2 penggemar Stand Up Comedy) padahal Akbar menurut mereka justru lebih punya kans masuk ke publik yg lebih luas? Lain hal kalau Kompas TV memang concern pd penonton ABG...
      18 Desember pukul 9:11 · 1

    • Joko Luwarso Akhirnya, juri menilai ke dua peserta...dr penampilan mereka berdua sejak pertama..., jd bukan penampilan di grand final saja. Bisa jadi di final, antara Akbar dan Ryan memperoleh skor yg sama. Ryan di panggung memang lebih rileks dan lancar bercerita. Secara materi, aku lbh suka yg dibawakan Akbar, karena banyak menyinggung politik, sama seperti karikatur hehehee...
      18 Desember pukul 9:32 ·· 1

    • Darminto M Sudarmo Joko Luwarso..... betul dik ....ya spt kata butet, mengeliminasi dr 5 besar aja rasanya gak mentala krn potensi mereka kan hampir sama ...tapi itulah namanya lomba pd akhirnya harus memenuhi tuntutan formal .... 1 2 3 dst ....
      18 Desember pukul 9:40 ·

    • Bambang Haryanto
      Makasih Mas Darminto M Sudarmo untuk resensi Anda.Saya manut dengan opini Anda, karena sejak awal saya ketiban sial yaitu dirundung tuna akses KompasTV di Wonogiri.Selamat untuk Ryan dan Akbar.Semoga "kemewahan" yang Anda nikmati, keterkenalan itu, menjadi pemacu untuk lebih berprestasi guna menyemarakkan dunia komedi tunggal di Indonesia.Saya tak bosan mengutip sejarah hidup Steve Martin, yang bilang ia berkarier di dunia komedi tunggal selama 18 tahun. Yang 10 tahun untuk belajar, yang 4 tahun untuk mempercanggih lawakan, dan 4 tahun sisanya untuk menikmati keberhasilan.

      Menyambut komentar Tony Trie Artono tentang akting Mas Butet Kartarejasa dalam Sentilan-Sentilun yang sampai bermurah hati hingga memonyong-monyongkan bibir, saya kira pertanyaan ini juga mengharap jawaban dari Mas Agus Noor, penulis naskah acara itu.

      18 Desember pukul 9:46 · · 2

    • Darminto M Sudarmo
      Bambang Haryanto terimakasih juga Mas .... wah ikut prihatin juga kalau TV Borobudur gak bisa ditangkap di Wonogiri ya? Ini bisa jadi info buat si pemilik station (Kompas TV n join) ...mudah2-an segera diperluas nyampe Wonogiri. Iya Anda benar, itu Steve Martin memang etos dan spiritnya layak digrisbawahi tebal-tebal....moga banyak temen komik yg bisa terinspirasi karenanya ...O ya sy akan coba tag ke Mas Agus Noor....

      18 Desember pukul 9:51 ·  1

    • Darminto M Sudarmo
      Lha ini saya dapat respon dari teman Danny lewat email, kerana beliaunyah belum berakun di fb, maka sy copas-kan aza komennya: Saya juga mau tambahkan, mengenai pilihan antara konsistensi penampilan dan kekuatan materi.


      Komedian adalah orang yg paling matre sedunia. Karena setiap waktu yg dipikirkan adalah Materi, Materi, dan Materi. Karena hanya karena materi yg kuat seorang komik dapat bertahan dalam profesinya. Hanya karena materi yg kuat penonton bersedia menyisihkan waktu utk menonton. William Davis menyatakan bahwa " the kind of humor I like is that thing that makes me laugh for five seconds and think for ten minutes". Tujuan stand up comedy adalah untuk mencari lawakan yg cerdas. Oleh karena itu, saya berpendapat, Ryan menang bagi para juri, Akbar menang di hati penonton yg egois terhadap materi yg cerdas yg proses kreatifnya tidak mudah!

      18 Desember pukul 10:08 · 

    • Deny Eko wah saya ketinggalan neh ada stand up comedy di kompas TV, di bjngoro gak nyaut alias gak bisa, dan setelah membaca tuliane mas dar, kobar alias AKBAR yang muncul jadi juara dua, wuih salut, dulu pernah sepanggung bareng...... mugo2 gak lali karo aku..
      18 Desember pukul 10:44 ·  · 1

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko ...mugkin kerja sama dgn TV setempat mas ... di semarang kan lihatnya di Borobudur TV... jadi tidak TV Nasional....
      18 Desember pukul 10:50 ·  1

    • Imam Tantowi Kompas TV dirumahku tiba-tiba ngilang, dan disearch lagi tetap gak nongol kenapa ya...? sudah 2 minggu ini, rumahku di Jelambar.
      18 Desember pukul 11:26 · · 1

    • Darminto M Sudarmo Mas Imam Tantowi ...Jelambar kan mingsih di Jabodetabek ya.... mungkin soal setting aja mas....
      18 Desember pukul 11:28 · 

    • Deny Eko ooooooooo,
      18 Desember pukul 11:29 ·  · 1

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko..maksudnya sudah ketemu mas?
      18 Desember pukul 11:30 ·

    • Deny Eko belum, TV lokas sini cuma satu, dan gak nyiarin..............
      18 Desember pukul 11:31 · 

    • Imam Tantowi Iya, awalnya da[at dan saya selalu mengikuti Stand Up Comedy nya, tiba-tiba saja hilang dan dicari lagi nggak nongol.... sampai ganti beberapa channel.
      18 Desember pukul 11:31 · · 1

    • Deny Eko mas dar: beda stand up cpmedy, sama monolog comedy itu apa?
      18 Desember pukul 11:34 · 

    • Darminto M Sudarmo Mas Imam Tantowi bukan posisi antena berubah ya mas? wah itu ya ahli tv service yg mungkin bisa bikin bener...
      18 Desember pukul 11:35 · 

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko ... setahu saya: SUC: tampil utk membawakan materi yg berisi opini lucu sesuai topik yg dipilih ....sdgken monolog: membawakan cerita utuh dari awal hingga akhir. ada lagi joke telling: menceritakan potongan2 cerita lucu pendek atau joke disertai akting utk menghidupkan suasana....
      18 Desember pukul 11:40 · 

    • Deny Eko dalam SUC: boleh enggak kita mengeluarkan joke?
      18 Desember pukul 11:45 ·· 1

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko boleh aja, asal joke tidak mendominasi.... sebenarnya opini lucu itu powernya ya kayak joke juga krn bikin kejutan, tapi konstruksinya kan tidk terlalu panjang....
      18 Desember pukul 11:55 ·

    • Deny Eko oke2, matur nuwun ilmunya?
      18 Desember pukul 11:58 ·  · 1

    • Darminto M Sudarmo yoi mas...sama2...
      18 Desember pukul 11:59 · 

    • Martono Loekito ini jenis lomba humor baru, semoga apa yang sudahdisampaikan oleh para pakar menjadi catatan di kesempatan pada mendatang...
      18 Desember pukul 14:47 · · 1

    • Bambang Haryanto
      Ikut memberi garis bawah komentar Danny de Humor yang diunggah Mas Darminto M Sudarmo.Kutipan ucapan William Davis bahwa " the kind of humor I like is that thing that makes me laugh for five seconds and think for ten minutes," harus menjadi pegangan komedian kita di masa-masa mendatang.Saya ingin menambahkan tentang tiga tugas kaum komedian tunggal, yaitu berusaha membuat audien "to laugh, to think and to change. " Mengajak mereka tertawa, berfikir dan berubah. Untuk dunia komedi kita, termasuk mungkin yang dilombakan oleh KompasTV itu atau yang lainnya (termasuk yang disentil di komentar-2 di atas), boleh jadi baru merupakan kiprah yang merambah ranah yang pertama. Semoga itu dapat menjadi modal untuk merambah ranah kedua dan ketiga di masa-masa mendatang.Persoalannya : maukah mereka belajar, belajar dan belajar terus ?

      18 Desember pukul 15:09 · · 2

    • Herman Hasyim
      Halo, Mas Darminto dan rekan-rekan. Saya hanya ingin menambahkan dua hal di sini—di luar materi lawakan.
      Pertama, saya punya dugaan kuat, dewan juri sebenarnya tidak bulat dalam mengambil keputusan. Pengakuan Mas Butet adalah salah satu buktinya. Dengan demikian, muncullah apa yang disebut “dissenting opinion”. Katakanlah, misalnya, Mas Butet lebih condong ke Akbar dan Mas Indro ke Ryan. Dengan demikian, suara Astrid—si artis muda itu—jadi penentu.
      Mendadak saya teringat komentar Astrid pada 3 Desember 2011, setelah Ryan tampil. Dengan lagak ABG yang sedang dirundung asmara, Astrid berkata, “Ryan, kalau Akbar tadi kan obat penurun panas. Kalau kamu tuh, tahu nggak apa? Kamu tuh…. Kamu tuh vitamin buatku, Ryan. Membuat hatiku berwarna, mataku berbinar-binar, hatiku berdansa. Kamu sempurna, Ryan.”
      Kedua, perhelatan SUC Kompas TV ini untuk kesekian kali meneguhkan superioritas “lu-gue” ketimbang “aku-sampean”. Pihak Kompas TV tentu punya pertimbangan sendiri soal ini. Apa lagi kalau bukan pertimbangan pasar?
      Kita tahu, Kompas TV sejauh ini hadir di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, Palembang, Pontianak, Makassar, Bali. Meski memasang tagline “Menginspirasi Indonesia”, setelah perhelatan SCU ini rampung, saya kuatir Kompas TV hanya akan memperpanjang daftar penyelanggara siaran TV yang Jakarta centris.
      Salam humor!

      18 Desember pukul 15:10 ·· 3

    • Darminto M Sudarmo Martono Loekito ...terimakasih mas...mudah2-an begitu, zaman transparan begini...di atas juri masih ada juri lagi, yaitu masyarakat dan mereka juga punya tolok ukur tentang kepatutan dan kepantasan...
      18 Desember pukul 19:44 · 

    • Darminto M Sudarmo
      Bambang Haryanto iya benar Mas. SUC memang hadir untuk memberikan alternatif tontonan humor yg "menjanjikan" NILAI LEBIH dari sekadar slengekan, jorok2-an, dan jenis slapstick lainnya. Seperti kutipan rekan Danny di atas, SUC yg diklaim set...Lihat Selengkapnya

      18 Desember pukul 19:56 · 

    • Darminto M Sudarmo
      Mas Herman Hasyim .... sekali lagi terimakasih sudah menyunting dan menyajikan wacana ini di Kompasiana dengan sangat elegan dan segar..... mengutip salah satu kutipan anda, "Kamu sempurna, Ryan" sbgmn dikatakan Astrid, menurut sy ini agak ...Lihat Selengkapnya

      18 Desember pukul 20:10 ·

    • Koes Komo pak Darminto M Sudarmo... di Amsterdam juga banyak kok stand up comedy ... kadang2 sebelum mereka tampil beneran (comercial show) mereka trial dulu (gratisan) di tempat nongkrong alternative... bisa di komunitas2 yang ada audiens untuk kasih evaluasi...... ndak cuman stand up comedy hampir semua seni pertunjukan di sini seperti itu pak....
      18 Desember pukul 20:27 ·  1

    • Koes Komo yak-e hahahaaha.... nyimak ajah wis... salam rindu pak...
      18 Desember pukul 20:36 ·  1

    • Darminto M Sudarmo Koes Komo ... iya ya Koes.... jelas di sini juga banyak biang komik...mereka yg telah mendunia seperti Philip Walkate, Alex Kempsell, Chris O'Brien dan banyak lagi lainnya dari mana asalnya, mungkin juga mereka sering manggung di tempat2 seperti yg kau sebutkan itu....asyiiik lah pokoknya....!
      18 Desember pukul 23:03 ·

    • Darno Kartawi Untuk meminimalisir faktor subyektivitas, maka kalau di barat lazimnya kalau ada kompetisi kreasi seni tidak ada yuri/pengamat lebih dari satu. Sehingga kalau terjadi gejolak...biangnya hanya satu. Itu saja kalau seni masih nekad mau dikompetisikan.
      19 Desember pukul 10:50 ·· 2

    • Darminto M Sudarmo Menarik sekali Pak Darno Kartawi .... atau hasil keputusan juri dilempar ke masyarakat barang seminggu atau 10 hari jika ada komplain dan itu argumentatif/normatif .... maka komposisi pemenang bisa disusun ulang....misal ada kasus penjiplakan dsb....
      19 Desember pukul 10:57 · 1

    • Deny Eko mas kapan ada lagi?
      19 Desember pukul 21:42 ·  1

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko ... lha itu biar pihak TV yg menjawabnya, kalo anda pingin juga bisa ngadain di Malang...why not?
      19 Desember pukul 21:54 ·

    • Deny Eko aku skrang jadi pegawai BPR di negaraku mas, aku wes gak aktif di bidang perbroadcastingan..... cuma kangen pengen tampil
      19 Desember pukul 21:55 · · 1

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko ...di bbrp tempat kabarnya sudah bikin comedy club begini, di surabaya sih sy pernah baca ada...di malang gak tau, kenapa gak bikin lalu bikin workshop atau rutin tampil utk sekadar open mic ....
      19 Desember pukul 21:57 · 

    • Deny Eko aku skerang tinggal di bojonegoro mas gak di malang....
      19 Desember pukul 22:02 · · 1

    • Darminto M Sudarmo Deny Eko di manapun kalo di situ ada sekelompok org yg punya minat sama, bisa aja.... tp kalau mo gabung yg udah ada, tinggal cari kota yg ada clubnya dan terdekat kan?
      19 Desember pukul 22:03 · 

    • Deny Eko iya mas......... oke....
      19 Desember pukul 22:05 ·· 1

    • Lidya Hamid
      Permisi ikut nimbrung. Saya juga penonton setia Stand Up Comedy by Kompas TV. Walau saya bkn insan seni n awam sekali soal seni, namun saya bisa merasakan penilaian yg "subyektif" khususnya 2 besar. Dg memperhatikan komentar ke3 juri dari awal, jelas tampak bahwa juri2 (paling tdk 2 juri) sll menggiring opini publik berpihak kpd Ryan. Dari awalpun kita serumah sdh bisa menerka bahwa Ryan yg akan menang (Juara I) bkn krn Ryan lucu ttp lbh krn "like" n "dislike". Kelebihan Ryan, menurut penilaian salah seorang juri adlh bisa mengolah hal2 yg sedang Pinn untuk "kelompok ttt" dan "menirukan gaya orang" itu bkn suatu yg mudah (kata seorang juri), ttp dikesempatan yg lalu sang juri berkomentar unt peserta lain "jng photo copy" n "jng basi" dg mencontek2 yg tlh dilakukan oleh orang lain (yg bisa didapat di internet). Haaa.... apakah meniru2 orang lain bkn photo copy dan basi? ditempat kerja saya dulu saja (kira2 thn 2000) ada teman saya yg initialnya "ADJ" sering meniru2 gaya boss n gaya teman2 yg membuat kita semua tertawa cekikikan. Basi sekali kan?? dan ada bbrp teman lain yg bisa melakukan hal serupa, berarti sdh biasa kan? Saran unt Kompas TV : lain kali juri nya jngn cuma 3 n duduk berdekatan lagi (yg secara tdk sadar bisa mempengaruhi penialian juri yg lain). Bisa ambil contoh dari TV tetangga tuh.. 100 juri Votelock atau mngkn bisa diperkecil 50 juri votelock dari berbagai macam prpfesi. Smg lain kali lbh profesional..SELAMAT!!

      20 Desember pukul 16:05 ·· 3

    • Darminto M Sudarmo Mbak Lidya Hamid sangat cermat sekali review dan analisisnya. Saya senang dari penonton wanita juga ikut aktif memantau dan bahkan memberi sumbangan pemikiran demi perbaikan acara serupa di kali yang lain, sangat kita hargai mbak....selama ini hanya temen2 cowok yang ngomong...ha ha ha; moga kritik dan saran anda ini juga bisa dipantau oleh pihak yang terkait/kompeten...salam humor!
      20 Desember pukul 19:43 ·

    • Lidya Hamid Trm ksh mas. Semoga saja....
      21 Desember pukul 3:50 · · 1

    • Hasan Bisri Bfc Ketika di milis EksSurabayaPost gaduh ngrasani STand Up Comedy, saya buru2 nyari di tv saya. Nggak ketemu ( saya tinggal di pinggiran Bogor ( dekat pintu tol Jati Asih ). Pas ketemu di hotel Lembang, Bandung. Jadi cuma sekali nonton. Mas Odios Darminto, saya kira sampean bakal milih di luar kedua peserta itu. Jadinya nggak seruuuuu nih...hehehe ( maturnuwun tulisane yo mas )
      22 Desember pukul 6:22 ·· 1

    • Darminto M Sudarmo Hasan Bisri Bfc ha ha ha sampeyan ki lucu juga mas...kalo milih di luar kedua finalis tentu saja saya pasti milih juri yg duduk di tengah wkwkwkkkk!
      22 Desember pukul 9:35 ·

Toko Lucu

Amazon.com ArtStore Camera & Photo Store Mp3 Store Office Products Store Kindle Store Sports & Outdoors Store Health & Personal Care Store Home & Garden Store Grocery Store Magazine Subscriptions Store Software Store Shoes Store Tools & Hardware Store Kitchen & Housewares Store Industrial & Scientific Store Jewelry Store Video On Demand Videos Store Gourmet Food Store Watches Store Beauty Store Computer Store Cell Phones & Service Store Electronic Store Automotive Store Apparel & Accessories Store DVD Store Miscellaneous Store Wireless Accessories Store KOKKANG Store

$value) { if (strpos($param, 'color_') === 0) { google_append_color($google_ad_url, $param); } else if (strpos($param, 'url') === 0) { $google_scheme = ($GLOBALS['google']['https'] == 'on') ? 'https://' : 'http://'; google_append_url($google_ad_url, $param, $google_scheme . $GLOBALS['google'][$param]); } else { google_append_globals($google_ad_url, $param); } } return $google_ad_url; } $google_ad_handle = @fopen(google_get_ad_url(), 'r'); if ($google_ad_handle) { while (!feof($google_ad_handle)) { echo fread($google_ad_handle, 8192); } fclose($google_ad_handle); } ?>