SATU

Ini bukan review tapi view.

DUA

Asyik kan sekali-kali lihat yang oke.

TIGA

Segar di mata nyaman di hati.

EMPAT

Mata lepas pikiran bebas.

LIMA

Akhirnya badan kembali fresh siap kerja lagi.

Friday, August 3, 2012

Si Cicak Sudah Berani Gigit Buaya

M Djoko Yuwono


Oleh Ki Jenggung

PARA peneliti binatang melata dunia terperanjat tentang fenomena ganjil di Indonesia. Mereka tak habis mengerti kenapa kasus aneh binti ajaib itu bisa terjadi di negeri ini. Tapi, ya tanah air kita sudah telanjur dicap sebagai negeri yang serba memungkinkan. Apa saja bisa terjadi.

Contoh yang paling jelas adalah bagaimana seseorang dengan gaji yang secara teoritis hanya cukup untuk hidup dengan satu istri dan dua anak selama 10 hari, pada kenyataannya mereka masih hidup sampai bulan berikutnya serta mengirim anak-anaknyake sekolah.

Ada lagi contoh ekstrem yang benar-benar terjadi. Ada seorang pegawai negeri dengan pangkat III-A, tetapi memiliki harta kekayaan hingga mencengangkan orang. Sejumlah rumah mewah dimilikinya, juga beberapa kendaraan kelas menengah atas, punya perusahaan, perkebunan dan entah apa lagi. Secara teori dan kasat mata, semuanya sulit dimiliki si “oknum” itu, sebab daftar gaji dan tunjangan si “orang beruntung” itu dapat diketahui dan dikalkulasi. Publik sudah tahu.

Hasilnya? Si oknum menghuni hotel gratisan yang berbiaya tinggi kalau keinginannya banyak. Hotel ini multi-service atau full-service selama jari telunjuk dan jempol bisa digesekkan sesamanya. Maksudnya punya duit apa tidak, gitu looh.

Itulah contoh-contoh ganjil yang terjadi di negeri yang semuanya bisa terjadi … terutama kalau ada uang. Artinya, lagi, semuanya bisa dibeli. Maka, berbahagialah orang-orang beruang (berduit, berharta, maksudnya) karena dia menjadi pemimpin atau pejabat bayangan. Kasus-kasus yang menyengsarakan dan merugikan rakyat bisa disulap menjadi tanggungan negara, dus, beban rakyat. Kasihan rakyat negeri subur makmur gemah ripah, loh jinawi, ini.

CICAK vs BUAYA
Akan halnya binatang melata yang sudah disebut-sebut di bagian awal tadi, maka kegemparan itu terjadi pekan ini. Dalam sejarah binatang atau fauna selama ini, cecak selalu ketakutan mati-matian menghadapi buaya. Secara fisik ia hanyalah sebesar kelingking buaya. Jadi, kalau berkelahi, maka si buaya cukup melentikkan jarinya yang bujel buruk itu langsung si cecak langsung mati tanpa minta minum dulu atau meninggalkan pesan-pesan terakhirnya.

Di tahun 2010 ada gegeran mengenai adu kekuatan antara cicak dan buaya. Itu terjadi karena kasus korupsi yang dilakukan “pendekar” dari timur. Kecurangan itu diendus oleh institusi negara yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Institusi ini tergolong masih muda sekali usianya, masih bayi. Terjadilah pertengkaran dengan institusi negara lain yang bertugas menegakkan hukum sejak proklamasi kemerdekaan, 67 tahun silam. Pejabat di instansi “saudara tua” itu gerah, pontang-panting, dan sesumbar bahwa bayi itu belum bergigi, sedangkan dia adalah “buaya” yang bergigi tajam, cakarnya kuat, dan jepitan rahangnya sangat kuat mampu meremukkan tulang hewan lain.

Sesumbarnya yang terkenal hingga kini adalah KPK ibarat cicak melawan buaya. Akan tetapi, ia lupa bahwa cicak ini didukung jutaan rakyat yang sudah muak dengan buaya-buaya yang ada. Hewan ini ganas, liar, galak, dan rakus. Bahkan bangkai pun ia makan. Jangankan kasus besar, kasus sandal jepit, buah coklat lima butir dan sejenisnya dilalap habis.

Ia tahu betul bahwa bangkai besar akan membawa rezeki besar, maka justru bangkai besar-besarlah yang aman, supaya bisa digigiti sedikit sedikit. Kalaupun suatu saat ketahuan bau busuknya, maka si bangkai besar ini juga berubah menjadi sapi perah yang susunya nikmat (buat buaya). Maka, tujuan, cita-cita atau mimpi (istilah keren dari AS) para calon bangkai busuk adalah berusaha menjadi bangkai besar sekali supaya aman. Kalau pun masuk hotel gratis, dia mendapat fasilitas kelas hotel bintang lima.

Sang cicak yang kecil melata di dinding itu akhirnya tetap tegak dan buayanyalah yang justru masuk kandang gratisan. Apakah ia mendapatkan fasilitas bintang lima? Ini juga tak jelas karena kasusnya sudah tertutup kasus buaya-buaya liar di luar institusi yang justru seru-seru.

CICAK GIGIT BUAYA
Si bayi cicak mendapat dukungan dari jutaan rakyat karena tinggal inilah satu-satunya institusi negara yang bisa menggulung bangkai-bangkai, besar maupun kecil. Yang namanya partai politik yang sejatinya harus mengawasi jalannya pemerintahan malah ikut pesta bangkai pula. Kalaupun ada, yang minta bunga yang bunga bangkai, yang minta durian ya yang busuk tanpa menjadi tempoyak.

Pekan ini jagad pemberitaan media massa dikejutkan dengan “aksi nekad” cicak yang nyelonong masuk ke sarang buaya yang selama ini dianggap “wingit” guna membongkari tumpukan bangkai. Tentu saja para buaya tak terima. Ini memalukan, masak “jeruk makan jeruk”, sehingga cicak-cicak diperangkap di “lubang buaya” selama beberapa jam. Bangkai-bangkai dilarang dibawa ke luar selama berjam-jam. Baru setelah pimpinan cicak menghadap pimpinan buaya, persoalan rada-rada klir.

Bayangkan saja, bagaimana mimik wajah para buaya yang diaduk-aduk lubangnya oleh cicak-cicak: gemas, malu, marah, dan pasrah. Ini bahasa wajah, ekspresi yang sulit ditiru oleh Charlie Chaplin, Ben Turpin, Oliver Hardy dan Stan Laurel maupun Mr Bean atau maestro pantomim asal Prancis, Marcel Marceau.

Berbeda dengan kasus dua tahun silam, kini cicak sudah punya nyali masuk ke “lubang buaya”, mencari bangkai bernilai miliaran rupiah. Seperti kata pemimpin cicak bahwa kasus Hambalang memiliki anak-anak tangga, maka diharapkan si cicak KPK mampu mendaki tangga lebih tinggi untuk membongkar bangkai-bangkai yang disimpan di lubang biawak, komodo, bahkan T-Rex sekalipun. Mereka ini tengah mangaduk-aduk sarang tokek di Senayan. Suara tokek sering sekali terdengar, parau dan menyakitkan telinga. Bahkan para tokek pernah sepakat untuk menggulungtikarkan sarang cicak karena mengganggu kegiatan pencaplokan serangganya. Tokek di Indonesia juga gemar makan bangkai besar-besar. Kok begitu?

Ya, seperti sudah dikatakan semula, ini Indonesia, segalanya bisa terjadi. Paham, kan?


REVOLUSI TEMPE? GAK BERGENGSI AH!

Djoko Susilo


Oleh Ki Jenggung

GELEGAR Revolusi Mawar mampu merontokkan rezim-rezim kawak di Afrika Utara belum lama ini. Begitu juga Revolusi Mawar mampu menjungkalkan rezim Portugal di pertengahan dekade 70-an, sehingga Timor Timur bergolak.

Revolusi People Power, atau revolusi Kekuatan Rakyat, mampu mendongkel rezim Ferddinand Marcos di Filipina di pertengahan dekade 80-an. Nama-nama revolusi itu begitu indah dan heroik. Tapi, di negeri Republik Undur-undur, ada kudeta merontokkan rezim 3-L (lesu, lemah, letoy). Presidennya yang ganteng tapi lamban seperti keong racun terbirit-birit lari ke Amerika Serikat, minta perlindungan ke negeri keduanya itu, karena dikudeta rakyatnya sendiri yang sudah bosan, eneg, dan jengkel atas ketidakberdayaan pemimpinnya terhadap apa saja. Istilah gebleknya: impotensi politik.

Rakyat yang sudah geregetan membikin kacau, mengobrak-abrik tetangganya sendiri, kantor-kantor pemerintahan, menjarah toko-toko. Infrastruktur tidak diganggu sebab memang selama delapan tahun rezim lelet ini berkuasa tak ada infrastruktur memadai yang dibangun.

Jangankan infrastruktur yang mahal dan rumit, sedangkan bahan makanan saja mengalami krisis memalukan. Kalau dulu garam, ikan, dan beras yang diimpor, kini nafsu impornya makin menggila dengan merambah “komoditas” yang tidak “bergengsi” yaitu singkong alias ketela pohon. Semua serba impor.

Revolusi Meledak
Revolusi ini meledak dengan menggelegar setelah satu bahan makanan rakyat, tempe dan tahu, yang selama ini menjadi favorit rakyat, yang kaya protein, nonkolesterol sebagai kebutuhan gizi murah-meriah setiap hari, kini stop produksi. Tak ada lagi orang makan tempe secara berbudaya dan memadai. Bayangkan, para produsen tahu-tempe mogok, tak ada pasokan dua bahan menu pokok di pasaran. Kalaupun ada, ukurannya kecil sekali, merendahkan rasa estetika rakyat. Kecil, peot, dan tidak enak, entah dicampuri apa.

Semua berawal dari kelangkaan bahan baku tahu-tempe yaitu kacang kedele. Harap dipahami secara seksama, bahan baku kacang kedele itu pun juga diimpor dari negeri majikan Republik Undur-undur, Amerika Serikat. Rakyat negeri Undur-undur hebat sekali. Bahkan bahan makanan pokok mereka pun harus diimpor. Tak jelas apakah ini kesombongan, keterpaksaan, aau kebodohan.

Yang terang saja adalah kebodohan para pemimpin negeri sial itu. Setelah dicekik oleh International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional sejak 1997, mereka tak pernah punya pemerintahan kuat, berani, gagah berani ambil risiko  dan bermartabat. Adanya adalah para ular pencari rente atau pencari komisi. Maka, kacang kedele pun harus diimpor.

Tempe Asli Indonesia
Bahan makanan murah tapi bergizi tinggi dan sehat ini asli ciptaan bangsa Undur-undur, berkembang mula-mula di Pulau Jawilem lalu menjalur ke Nusantara. Mudah-mudahan tak diklaim Malaysia sebagai bahan makanan pokok asli negeri lihai dan pintar itu. Yang jelas, ragi tempe sudah dibajak orang Jepang dan mematenkannya. Negeri Undur-undur kecolongan. Nasib bangsa ini selalu muncul sebagai pecundang.

Mungkin tempe dianggap barang sepele karena sudah umum menjadi bagian budaya Republik Undur-undur. Selain itu, presiden pertama negeri penyok itu sering mengingatkan rakyatnya agar jangan jadi bangsa tempe. Harap diketahui, di masa lalu sebelum ada mekanisasi industri kecil/perumahan, tempe dibuat dengan menginjak-injaknya. Itulah yang dimaksud, negeri yang selalu diinjak-injak bangsa lain. Rezim Undur-undur sekarang keenakan diinjak-injak AS asal pemimpinnya berkuasa dan dijamin langgeng. Padahal, tempe menjadi perhatian dunia sebagai makanan sehat dan bergizi tinggi.

Revolusi Tempe
Rakyat Republik Undur-undur yang berang lantas mengadakan gerakan sosial seperti dijelaskan tadi, membikin kudeta yang diberinama Revolusi Tempe. Alasannya, tempelah yang menjadi pemicu kudeta itu. Undang-undang negeri Undur-undur tak memungkinkan pemakzulan berjalan mudah, kecuali mungkin pemimpinnya jadi gila dan membahayakan negerinya.

Maka, gelombang kemarahan rakyat itu mampu membikin rotasi dan evolusi galaksi kekuasaan negeri itu berhenti dan rakyat mendongkel presidennya yang lembam. Pemimpin yang gendut dan sudah mulai sakit-sakitan itu bukannya tak sadar. Ia kemudian membikin gerakan asal perintah. Kalau ada perkosaan di angkot berkomentar: cegah perkosaan di angkot. Kalau ada masalah apa saja ia seperti kena Oracle of Deplhi, memerintahkan ini itu, tapi tak jelas langkah konkretnya. Kemampuannya hanya pencitraan seperti itu, seolah-olah ia bekerja keras (untuk sekadar omong di media massa).

Pengadilan Revolsi Tempe
Singkatnya, presiden dan kabinet negeri Undur-undur tumbang, dan diadakan pengadilan rakyat. Presidennya menangis-nangis, jangan sampai revolusi yang menjengkangkan dirinya disebut Revolusi Tempe.

“Tolong jangan itu dong namanya, jelek amat bikin nggak gengsi, nggak ada pesona,” rintihnya.

“Enak aja. Ini memang dipicu oleh tempe, tauk?” hardik pasukan Garda Tempe Nasional.

Maka, dalam berita-berita dan sejarah kontemporer Negeri Undur-undur pada tahun 2012, setidaknya tahun 2013 dicatat adanya pemerintahan yang jatuh cuma gara-gara tempe. Inilah judul-judul berita di koran itnernasional: The Tempeh Revolution Begins. President was sacked and fled to the US by a group of tempeh sellers.

“What? Tempeh? What the hell is that?” tanya para pembaca di Barat. Apa boleh buat ....


Toko Lucu

Amazon.com ArtStore Camera & Photo Store Mp3 Store Office Products Store Kindle Store Sports & Outdoors Store Health & Personal Care Store Home & Garden Store Grocery Store Magazine Subscriptions Store Software Store Shoes Store Tools & Hardware Store Kitchen & Housewares Store Industrial & Scientific Store Jewelry Store Video On Demand Videos Store Gourmet Food Store Watches Store Beauty Store Computer Store Cell Phones & Service Store Electronic Store Automotive Store Apparel & Accessories Store DVD Store Miscellaneous Store Wireless Accessories Store KOKKANG Store

$value) { if (strpos($param, 'color_') === 0) { google_append_color($google_ad_url, $param); } else if (strpos($param, 'url') === 0) { $google_scheme = ($GLOBALS['google']['https'] == 'on') ? 'https://' : 'http://'; google_append_url($google_ad_url, $param, $google_scheme . $GLOBALS['google'][$param]); } else { google_append_globals($google_ad_url, $param); } } return $google_ad_url; } $google_ad_handle = @fopen(google_get_ad_url(), 'r'); if ($google_ad_handle) { while (!feof($google_ad_handle)) { echo fread($google_ad_handle, 8192); } fclose($google_ad_handle); } ?>