Butet Kartaredjasa |
Oleh M Djoko Yuwono
“DI Indonesia ini mau jadi miskin saja sulit, padahal baru mau jadi, belum miskin,” sebut Sammy (Sam D Putra).
Keruan, celotehan itu mengundang ger. Dan, dalam hati, para penyaksi Stand Up Comedy di Graha Bhakti Budaya, TIM, mengakui bahwa pergelaran malam itu bisa disebut sebagai sebuah paradoks, satire. Karena, untuk mencari sesuap nasi, semisal para buruh, mesti demo dulu agar memperoleh upah yang cukup untuk makan sebulan. Di sisi lain, para pejabat dengan enteng menjadi kaya, ada yang diantar dengan kardus dan bungkus durian.
Lawakan para komedian berdikari (baca: comic) bertajuk Koper yang berlangsung 17-18 Februari itu amat menggelitik. Sammy bertubuh tambun pun berceloteh perihal isi koper: tentang anak dikursusi bahasa asing, berat badan, hingga soal rumah tangganya yang kurang harmonis. Ya, tentu, disampaikan dengan gaya guyon pol, mbanyol habis. Sammy termasuk menohok pemerintah yang kerap abai, serta sejumlah kegagalan negeri ini. Satire.
Koper sebagai sebuah benda—yang bisa berisi cerita apa saja—pun terlempar-lempar, dioper ke sana kemari dari stapsiun (maksudnya: stasiun); plesetan cerdas yang punya kisah masing-masing. Ketika dilanjut oleh Ernest Prakasa, si penjaga toilet, lain lagi cerita si Koper yang ditinggalkan oleh Sammy. Ia pun gamang—seperti pemimpin kita yang satu itu—apakah koper mesti diangkut? “Yang lain bajunya bagus, ini aku penjaga toilet. Rasis ini,” ujar jebolah Unpad, Bandung, bermata sipit itu.
Ohoi, kian asyik saja para comicus membanyol. Saat muncul si Batak Borisbokir, si pencopet dari Negeri Seberang Utara sana, ia memberondong dengan olok-olok etnis latar belakangnya. Termasuk yang suka jadi sopir metromini. “Kalau aku buat maskapai nanti namanya Batakvia Air, orang langsung tahu itu. Gaya pilotnya masih sama, kaca depan dibuka, tangan pilotnya nangkring sedikit,” ucapnya dengan berseru khas Batak, dan perut penonton pun kaku dibuatnya.
Tak percuma kehadiran komedi secara monolog yang acap digelar di kafe-kafe dan di layar kaca itu dilemparkan ke TIM, sehingga bermetamorfosis secara lebih lebar, asyik diikuti. Unsur teaternya jadi lebih terasa. Mereka bisa mengeksploitasi dengan skill yang dipunya masing-masing. Apalagi koper bisa dioper-oper ke berbagai tempat (setting), menjadi taman atau tempat tinggal.
Adalah Agus Noor, “Tugas saya membuat dan memastikan mereka dalam satu ikatan cerita dengan koper ini,” ungkap penulis cerita dan sang dalang acara bernas itu.
Inilah hiburan di tengah hiruk-pikuk negeri yang banyak kardus berisi uang berjalan menuju kantor-kantor para petinggi negeri ini.