Membebaskan diri dari mitos mungkin tidak gampang, tapi kita dapat melihat seperti apa kecenderungan "Produk Lelucon" baik yang on maupun off air saat ini. Benarkah Sule, Azis, Olga, Okky, Ruben, Andre, Parto, dan Nunung itu dibutuhkan zamannya atau justru kebalikannya? Artikel di bawah ini memberi bandingan situasi jadul dan kondisi yang terjadi saat ini - penulis.
Oleh Darminto M Sudarmo
SUKA tidak suka, menurut data, ternyata dari Pulau Jawa-lah banyak pelawak Indonesia dilahirkan. Data ini setidaknya yang bisa dicatat sampai dengan tahun 2003; terutama, saat artikel ini ditulis. Bila kita tarik garis dari Jawa Timur hingga ke Provinsi Banten, tercatat nama-nama pelawak andal (baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup) seperti: Jalal, Herry Koko, Kwartet S (Bambang, Jati Koesumo dan lain-lain), Kardjo AC-DC, “Esther” (Suprapto), Paul, Triman, Asmuni, Tarzan, Tessy, Topan, Leysus, Eko DJ, Polo, Sumiati, sebagian besar grup Srimulat, Prio Aljabar, Ribut dan lain-lainnya.
Kemudian disambung nama-nama
seperti: Basiyo, Djunaedi, Ranto Gudel, Pak Guno, Warkop DKI (Dono, Kasino,
Indro bahkan Nanu Mulyono), Kris Biantoro, Drs. Poernomo (Mang Udel), Gepeng,
Bagio Cs (Bagio, Darto Helm, Diran dan Sol Saleh), Ratmi B29, Eddy Soed, Iskak,
Atmonadi, Johny Gudel, Timbul, Kadir, Mamiek Prakosa, Basuki, Djujuk Srimulat,
Nunung, Pak Bendot, Gogon, Doyok, Niniek Carlina, Niniek Chandra, Rohana,
Nurbuat, Yati Pesek, Marwoto, Tukul dan
banyak lagi yang lainnya.
Masih disambung pula nama-nama
seperti: Kang Ibing, grup Reog BKAK (Mang Dudung, Mang Diman dll.), Aom Kusman,
Suryana Fatah, Us us (D’Bodors Group), P Project, Bagito (Miing, Didin dan kini
tidak bergabung lagi: Unang), Ulfa Dwiyanti, dan masih disambung nama-nama
seperti: Bing Slamet (Trio Los Gilos), Ateng, Benyamin S, Bokir, Anen, Empat
Sekawan (Qomar, Derry, Ginanjar dan Eman), Mandra, Pak Tile, Malih, Bolot,
Omas, grup Lenong Rumpi (pimpinan Harry de Fretes), grup Patrio (Parto, Akri,
menyatakan keluar, dan Eko), Komeng, grup Cagur (Narji, Denny dan Bedu, yang
terakhir keluar dari grup dan diganti Wendy), dan banyak lagi yang tak dapat
disebut satu persatu.
Ada memang nama-nama seperti: George
Sapulete, Darusamin, Ade Bimbi dan Otong Lenon yang berasal dari luar Pulau
Jawa. Tetapi mengapa perbandingannya sangat tidak seimbang? Ada indikasi apa di
balik fakta ini? Andil kultur atau subkultur semacam apa yang membuat penghuni
Pulau Jawa relatih lebih mudah menjadi pelawak? Tentu diperlukan penelitian
yang serius untuk dapat menjawab pertanyaan ini secara bertanggung jawab.
Lepas dari kondusif atau tidak
kondusifnya suatu etnik, kultur, bahkan wilayah, pada fitrahnya, peluang untuk
kelahiran pelawak bisa dari etnik, kultur atau wilayah mana saja. Saya pribadi
tidak percaya pada mitos seperti di atas. Ada peribahasa mengatakan, “Lancar
kaji karena diulang, lancar jalan karena ditempuh”. Bila sebuah komunitas,
kelompok maupun perseorangan mau dan bertekad mendisiplinkan diri seperti kata
peribahasa itu, niscaya akan mencapai lancar jalan pada saat menempuhnya. Bila
kita cermati nama-nama pelawak yang kita sebutkan di atas, maka akan terpeta di
benak kita, bahwa pada awalnya mereka semuanya melewati fase “belajar” atau
mengaji; terutama lewat “melebur” ke dalam kelompok produksi film, teater,
sandiwara keliling, ketoprak, wayang orang, lenong, maupun kesenian rakyat
lainnya. Kita semua tahu, semua itu adalah komunitas yang di dalamnya
berlangsung proses belajar mengajar. Lewat fase melihat, mencoba, melakukan
kesalahan, mendapatkan teguran, bahkan kritik tajam hingga mencoba lagi dan
lagi sampai akhirnya berani dan percaya diri. Tidak ada keterampilan yang
mendadak jatuh dari langit. Begitu pun keterampilan melawak.
Pertanyaan
saya kemudian, bukankah proses belajar mengajar di bidang seni lawak itu dapat
diproyeksikan lewat lembaga atau paguyuban atau apa pun namanya selama di
dalamnya berlangsung proses pembelajaran seni lawak. Dari teori sampai praktek.
Bukankah secara faktual, seni lawak pada saat ini dan kelak, terutama di zaman
berjayanya program entertainment, akan menjadi pilihan “profesi” yang
sangat dibutuhkan. Kalau kita merujuk pemikiran dan strategi pendidikan berpola
pragmatis, maka jurusan seni lawak adalah salah satu jurusan yang punya kans survive
dan selling point tinggi. Tetapi pendidikan seni lawak, yang dimaksudkan
di sini, tentu tidak bertolak dari pemikiran-pemikiran jangka pendek semacam
itu. Salah satu tujuannya adalah mengubah mitos, bahwa seni lawak yang semula
diyakini tergantung bakat dan anugerah alam, ternyata memiliki anatomi yang
dapat dibedah menjadi sebuah sistem atau metodologi; dengan kata lain, dapat
dipelajari lewat suatu institusi pendidikan.
Maka,
inilah impian saya tentang pendidikan seni lawak, yang dalam wacana ini,
sementara saya sebut saja: Institut Seni Lawak Indonesia. Sebuah institusi
pendidikan yang cukup tipikal dan setingkat universitas. Tentu saja pesertanya
adalah lulusan SMU/SLTA (Sekolah Menengah Umum/Sekolah Lanjutan Tingkat Atas).
Pria atau wanita, tak ada bedanya. Mengingat tujuan utama dari pendidikan ini
adalah mencetak para profesional di bidang seni lawak, maka mata kuliah yang
bersifat “kembangan” atau pelengkap, tidak perlu diberikan baik pada smester
pertama maupun smester selanjutnya. Mata kuliah yang diberikan bersifat
menjurus ke kompetensi, relevansi dan proporsionalisasi. Strategi pengajaran:
30% teori/wawasan, 30% studi kasus dan 40% praktik. Pada akhirnya para lulusan
atau out put didik dapat menentukan pilihan untuk menjadi: pelawak (comedian),
penulis lelucon untuk lawak (comedy/sitcom writer) atau pengatur laku
(sejenis comedy director).
Dalam kiprahnya di masyarakat, seorang pelawak/sebuah
grup lawak tidak menangani sendiri urusan-urusan seperti: peningkatan kapasitas
(ia memerlukan kerja sama dengan penulis naskah dan pengatur laku) dan untuk
keperluan show baik on air maupun off air (ia memerlukan
kerja sama dengan manajer yang akan menangani: administrasi kantor, order,
negosiasi tarif, pembukuan keuangan dan public relations). Pengalaman
membuktikan cukup banyak dari grup lawak kita yang merangkap-rangkap fungsi
itu; sehingga sebagai kelompok mudah terancam masalah, karena tumbuhnya
perasaan tidak adil di antara anggotanya. Tak heran bila muncul kasus pelawak
atau grup lawak yang justru lari dari penggemarnya; bukannya penggemar yang
lari dari pelawaknya. Itu terjadi lantaran para pelawak, apalagi yang tergabung
dalam sebuah grup ada persoalan interen yang kemudian berbuntut tidak kompaknya
grup itu dan akhirnya mereka bubar. Meninggalkan para penggemarnya.
Namun
demikian, perlu juga dicermati, cara pandang, bahwa pelawak atau grup lawak
harus membentuk suatu organisasi yang berforma administratif (bukan forma
paguyuban); dengan asumsi, seolah-olah itu merupakan satu-satunya jaminan yang
membuat suksesnya grup tersebut di
masyarakat. Ini tidak mutlak. Paling tidak, pada tahap-tahap awal pelawak
merintis karier, forma paguyuban masih dapat ditoleransi. Namun, bila kelompok
itu mulai tumbuh besar, maka forma administratif termasuk salah satu alternatif
terbaik agar grup itu tidak terancam hal-hal yang bersumber dari interest
pribadi. Sperti halnya sebuah perusahaan yang semula bergaya warungan, namun
setelah ia tumbuh besar dan makin kompleks, maka tuntutan untuk membentuk forma
administratif tak dapat dielakkan lagi.
Kembali
ke institusi lawak; seperti apa seharusnya kurikulum/silabus/mata kuliah yang
diberikan baik secara teori, studi kasus maupun praktek di sekolah lawak itu?
Rujukan umum untuk ini dapat saja dipakai, misalnya di Indonesia sudah terdapat
beberapa institut seni, seperti ISI (Institut Seni Indonesia), ISTI (Institut
Seni Tari Indonesia) maupun IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Sebagus-bagusnya
rujukan, tetap saja namanya rujukan. Institusi lawak memang perlu belajar cara
mengelola dan mengembangkan system manajemen pendidikannya, namun bila dalam
prakteknya terdapat kasus-kasus yang sangat tipikal terdapat pada seni lawak,
tentu tak ada obat apapun yang bisa menyembuhkan kecuali digali dari potensi
institusi lawak itu sendiri.
Iya.
Namanya saja lawak. Tentu tak dapat dipisahkan dari lelucon. Pasti banyak hal
tak terduga bisa muncul di sana. Lelucon pada intinya memang diharapkan dapat
menimbulkan efek fisik yang bernama: tawa. Apa pentingnya dengan tawa itu? Dr.
William F. Fry, yang meneliti efek ketawa selama 40 tahun mengatakan, ketawa
merangsang produksi hormon catecholamines; hormon yang membuat fisik dan
mental tetap terjaga. Ketawa 20 detik, kendati itu hanya pura-pura,
dapat meningkatkan detak jantung dua kali dari keadaan normal selama 3 sampai 5
menit. Hampir sama dengan 3 menit latihan olahraga mendayung!
***
KALAU
seorang pelawak kehilangan dompet atau HP, mungkin mudah dia melupakan. Tetapi
bila seorang pelawak gagal membuat ketawa penontonnya, maka tiga hari tiga
malam ia tak bisa tidur dan menderita stress. Ini benar dan tidak main-main;
ibarat pertunjukan lawak itu sebuah pertempuran, maka pelawak sadar perlunya
mempersiapkan diri dengan berbagai
senjata. Dari bom, meriam, senapan, pistol, belati, sampai jarum
(perumpamaan untuk bobot kelucuan). Menurut penelitian, grafik yang ideal untuk
lawak adalah lewat tarikan grafik/garis dari atas, ke bawah lalu ke atas lagi
hingga tampak seakan tampilan huruh “V”,
yaitu: pertama, lempar bom, kemudian disusul: meriam, senapan, pistol, belati
sampai jarum, di titik terbawah. Kemudian meninggi: dari jarum, belati, pistol,
senapan, meriam dan diakhiri lemparan bom lagi, sebagai surprise ending.
Ini idealnya dalam satu sesi pertunjukan atau episode tampilan (bila di layar
kaca). Senjata-senjata itu menggambarkan kapasitas lelucon yang dapat
dipersepsi penikmat/penonton.
Pertanyaannya,
bagaimana cara menghasilkan lelucon berkadar ledak berbeda-beda itu? Rahasia
ini ada di tangan kreativitas para kreator. Apakah kreator leluconnya itu sang
pelawak sendiri atau tim penulis naskahnya? Tidak menjadi masalah. Edward de
Bono memberi gambaran sederhana mengenai latar belakang proses penciptaan
lelucon. Ia mengatakan, lelucon atau humor memberikan jalan keluar dari
kekakuan sistem ya/tidak. Dalam gurauan tidak lagi dinilai sebagai benar atau
salah dalam sistem ya/tidak, karena lelucon berada di luar dari sistem itu.
Lelucon atau humor memiliki aturannya sendiri. Dalam humor kita boleh
mengatakan hal-hal yang jelas salah atau tidak mungkin. Misalnya (contoh
lelucon ini diambil dari lelucon yang banyak beredar di masyarakat kita - DMS):
Saat itu tengah malam, tampak dua pemabuk keluar dari bar. Pemabuk pertama,
mendongak ke atas dan ia mengatakan melihat matahari. Pemabuk kedua, membantah
yang di atas itu bukan matahari tapi bulan. Keduanya berdebat dan merasa
pendapatnya paling benar. Tak lama kemudian, mereka bertemu seorang laki-laki
dan bertanya, benda bulat yang bercahaya di atas langit itu bulan atau
matahari. Laki-laki yang ditanya menjawab, “Nggak tahu, ya. Saya orang baru,
sih.”
Dalam
kasus cerita ini, kita dapat melihat, betapa tak masuk akalnya alasan orang
yang ditanya kedua pemabuk itu; namun demikian, justru pada bagian ini, titik
ledak lelucon itu muncul; sebuah penyimpangan logika yang “mengacau” persepsi
penikmat/penonton.
Bagian
terberat dari bidang studi sekolah lawak itu (bila terwujud) adalah bidang yang
menyangkut kreativitas. Seperti halnya bidang seni lukis (murni, misalnya)
semua mahasiswa secara teoritis dan praktis mendapatkan in put dan
kesempatan yang sama; tetapi mengapa setelah mereka lulus, ada yang sukses dan
tidak sukses sebagai seniman? Demikian pula lawak, kemampuan teoritis dan
praktis mereka setelah lulus nantinya pun, masih sebatas keterampilan dasar dan
teknis belaka. Justru pada kreativitas dan visi masing-masing individu yang
akan menentukan arah dan perjalanan karier mereka.
Sukses
untuk pelawak itu apa saja indikatornya? Kendati pengertian ini seringkali
menjadi sangat polemis antara frame kesenian dan frame bisnis, namun para kritikus
seringkali lebih melihat pada seberapa besar para pelawak itu mampu memberikan
kontribusi pada: gagasan, genre,
dan kebaruan-kebaruan “pemikiran” atau temuan yang dapat
mempengaruhi perubahan bagi kehidupan
temporer atau di masa mendatang.
0 comments:
Post a Comment