Sunday, May 30, 2010
Lawak Indonesia Mau ke Mana?
Ya, lawak Indonesia mau ke mana? *)
AKHIR-akhir ini, setiap menonton acara lawak (baca: sandiwara
komedi) di TV, apakah itu yang bertajuk “Opera van Java” atau “Suami-suami
Takut Istri” (awal-awal kemunculannya, sebelum ada perbaikan) atau beberapa
lainnya, saya bukannya mendapatkan hiburan tetapi malah mendapatkan “tekanan”
yang serasa makin membebani pikiran. Saya tidak tahu persis, apakah tontonan
itu yang tidak mampu menggelitik rasa humor dan estetika saya atau saya sendiri
yang sudah tertinggal dan tak mampu menjangkau bentuk sajian yang ditampilkan.
Situasi yang ada dalam benak sangat
berbeda atmosfernya bila dibandingkan
dengan ketika saya (di waktu lalu) menyaksikan sandiwara komedi “Si Doel Anak
Sekolahan” dan “Bajaj Bajuri” misalnya. Di kedua acara TV tersebut, kita mudah
dibawa hanyut dalam cerita yang mengasyikkan bersama humor-humor segarnya yang
menyelinap di sana sini. Tidak sampai di situ, kita bahkan kadang merasa
terlibat ke dalam dinamika cerita yang begitu segar dan mengalir lancar.
Kedua situasi yang berkebalikan
sebagaimana dicontohkan di atas, bukannya tak mungkin mewakili banyak hal
terkait dengan acara TV yang bergenre humor dan belakangan ini banyak menuai
protes dari masyarakat. Salah satu protes yang cukup “menohok” dapat kita lihat
di bawah ini.
Pada Selasa, 26 Mei 2009, Effendi
Sutanja, seorang pembaca yang mungkin saja mewakili sekian banyak masyarkat
kita, menulis surat pembaca di Kompas dengan
judul “Pelecehan Dasar Negara Lewat Tayangan Lawak”. Intinya Sdr Effendi ini
kecewa berat menyaksikan tayangan/acara humor di stasiun TV swasta Jakarta
(JakTV).
Ia kecewa karena menyaksikan Pancasila dan agama dilecehkan secara
banal. Ini mungkin persoalan persepsi, tetapi mungkin dapat menjadi bahan
perbincangan kita bersama dalam sesi tersendiri; belum tentu persepsi dan
tuduhannya itu logis; bagaimanapun seni humor juga memiliki kode etik dan
kekebalan semacam lisensia puitika di seni puisi.
Sebagian kekebalan yang lazim dipahami para praktisi humor antara
lain: humor boleh tidak ada urusannya dengan pembuktian (akurasi), boleh “masa
bodoh” dengan istilah benar dan salah (urusannya adalah: lucu tidak lucu),
boleh menyindir seseorang atau situasi ke alam analogi atau metafora (Republik BBM, Democrazy, Republik Mimpi,
dan lain-lain); dan sebaliknya, secara etika seharusnya tidak “boleh” meledek
atau menghina CACAT FISIK seseorang karena bagian itu merupakan anugerah Tuhan dan
setiap orang tidak dapat memilih untuk memiliki bentuk fisik yang sempurna atau
menurut keinginan tiap individu. Dengan kata lain, meledek atau menghina cacat
fisik dapat diartikan sebagai “menghina” anugerah Tuhan.
Tetapi, paradoks yang kemudian terjadi adalah: sungguh berbahaya
jika humor harus dibayang-bayangi istilah-istilah seram seperti: tidak boleh, dilarang, jangan, tabu, kurang
ajar, dan sebagainya…..secara psikologis, kata-kata itu sangat telak akibatnya:
mematahkan daya kreasi dan kreativitas sang praktisi. Pilihan yang coba
ditawarkan ini mungkin akan memompa lagi semangat berkreasi kita: tidak ada yang
tidak boleh dalam berhumor; segawat atau serumit apapun tema yang dipilih –
seharusnya – semua boleh-boleh saja, namun ada syaratnya; yaitu soal tanggung
jawab estetika (urusannya dengan bagus tidak bagus, sembodo tidak sembodo,
elegan tidak elegan, dewasa tidak dewasa, ya…estetik tidak estetik-lah) dan
dalam semua cabang seni apapun, bila sang kreator tidak mampu menyuguhkan
estetika yang sembodo, tetap saja akan membuat penikmat jengah dan kadang
marah-marah.
Ada dugaan, seperti itulah suasana hati yang dirasakan Sdr Effendi
saat menyaksikan pertunjukan acara humor itu (saya sendiri belum menonton acara
tersebut). Sudah temanya gawat (padahal dengan tema Pancasila dan agama, maunya
si kreator sih bikin sensasi supaya menarik perhatian), idenya lemah (karena
dangkal dan asal dianeh-anehin: misalnya berdoa dengan mendengkur….),
estetikanya pun payah; bagaimana orang tidak mencak-mencak dan mau marah?
Hal-hal lain yang menjadi ganjalan kreativitas adalah sistem nilai
yang berlaku secara berbeda di tiap etnik dan suku subetnik. Apalagi, di
Indonesia. Tiap kreator harus pandai-pandai membawa diri. Kasus yang ambigu
juga dan berbuntut polemik yang rada
“menggelikan” karena adanya silang arus interest adalah yang menimpa Butet
Kartaredjasa setelah membawakan monolog Deklarasi Pemilu Damai 2009 pada Rabu
Malam, 10 Juni 2009. Seperti pengakuannya sendiri, ia mendapat banyak pujian,
sekaligus cacian karena materi monolognya itu membuat tidak berkenan salah satu
peserta Pemilu Damai, yang sebelumnya pernah nanggap Butet dengan tema yang
berbeda. Kalau suami istri mungkin saja layak jika sang istri uring-uringan
melihat suaminya bergandeng tangan dengan wanita lain, tetapi hubungan antara
si penanggap dan yang ditanggap (dalam konteks profesional) tentu tidak seposesif
itu, kan?
Untunglah, di lain hal, ada juga semacam “atmosfer” yang agak
membangkitkan semangat dan pencerahan setelah membaca tulisan Indra Tranggono
di harian Kompas, 20 Juni 2009, yang
berjudul “Negeri yang Suka Tertawa”.
Saya kutipkan bagian yang mungkin inspiratif buat kita semua, “Maka
ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ‘jual-beli’ kekuasaan, seni lawak
perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner dan elegan.
Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi
kemanusiaannya. Pada pemulihan manusia…..dst.”
Sedikit hal yang agak mengganggu dalam tulisan itu, misalnya
menyebut pelawak sebagai joker. Sejauh yang saya tahu, kata joker, lebih banyak dipahami sebagai si
“biangkerok”. Seperti sepak terjang Batman dalam menumpas kejahatan selalu
diganggu oleh si gila Joker. Kata comedian
mungkin lebih pas untuk pelawak dan clown
untuk badut.
Peta Lawak Indonesia
Quo vadis seni lawak Indonesia?
Seperti apa bentuk “peta”-nya saat ini? Pertanyaan ini sungguh tidak mudah
menjawabnya. Setebal apapun saya memakai
kaca mata, saya tetap tak mampu melihat tampilan peta lawak Indonesia dengan
jernih. Gambarnya kabur, buram dan kadang kosong sama sekali. Namun bila kita
mencoba melihat lawak Indonesia dalam konteks industri (budaya/kreatif),
lagi-lagi perspektifnya bergerak menuju Jakarta. Jujur saja, di kota ini peta
lawak berbasis industri itu terlihat agak terang. Mungkin di kota-kota lain
(daerah) ada tanda-tanda munculnya pelawak tunggal atau grup CC (coba-coba),
tetapi itu tak sesemarak atau seheboh munculnya grup band IB (indie banget).
Mengapa bisa begitu? Ya, karena main band relatif tidak sesulit main lawak
(dalam konteks CC dan IB tadi). Bahkan seorang pengamat humor Amerika bilang,
“Mati itu gampang sekali, tapi melawak sulitnya minta ampun, men!”
Untuk sekadar kasus, penjaringan
pelawak berbakat seluruh Indonesia lewat penyelenggaraan Audisi Pelawak
Indonesia (API) oleh TPI (yang hingga tiga gelombang, bila tak salah ingat),
tetapi kecenderungan mutu out-put-nya
terus-menerus menurun, maka jelas tidak menutup kemungkinan bahwa daerah pun
banyak yang dilanda kegersangan bakat. Kalau Miing Bagito bilang, dalam 10
tahun bisa saja lahir 100 doktor berkualitas, tetapi untuk pelawak berkualitas
paling cepat hanya satu atau dua orang.
Asumsi Miing itu nyaris pararel
dengan fakta yang terjadi pada acara penjaringan bakat bila dibandingkan antara
menyanyi dan melawak. Yang menyanyi tetap saja berlangsung mulus hingga
sekarang, sementara yang melawak justru di-stop
karena degradasi mutu yang terjadi cukup ekstrem. Syafrizal dari TPI yang diserahi tugas sebagai kepala
sekolah di kamp karantina para pelawak yang masuk seleksi 15-20 besar di
Cibubur, pernah terlihat sangat bersemangat ketika mengetahui SDM calon juara
di API Pertama. Ia bahkan
berkeinginan mengajukan proposal ke atasan untuk mengubah kamp karantina
menjadi sekolah lawak resmi yang dilengkapi kurikulum, silabus dan pengajar
yang kompetens; namun melihat perkembangan di tahun-tahun berikutnya yang mutu
SDM-nya semakin merosot, ia tak pernah menyinggung-nyinggung lagi impiannya
itu.
Bagi saya pribadi, kasus ini tidak
aneh. Bagaimana mau memanen kalau kita tidak pernah menanam? Dugaan kasar saja,
di tiap kota, taruhlah setingkat kabupaten atau kota, bukan tak mungkin di sana
ada sekolah yang mengajarkan seni suara dan seni musik; juga bukan tak mungkin
ada guru les privat yang mengajar seni vokal? Pertanyaannya, adakah sekolah
yang mengajarkan seni lawak? Adakah guru privat yang mengajar seni melawak? Bagaimana
mungkin kita berharap dengan sekonyong-konyong daerah memiliki calon-calon
pelawak berbakat? Secara bergurau, orang-orang akan serta merta bilang, “Mimpi ‘kali, ye?”
Salah satu pilihan yang mungkin
masuk akal dan terukur, bila kita memulai dari sekarang menyemai bibit yang
baik, menanam dan kelak memanen hasil: calon-calon pelawak berbakat.
Kandidat-kandidat semacam itu tidak dapat dipecayakan dan diserahkan
semata-mata kepada kelompok-kelompok lawak yang kadang ada di tiap-tiap kota.
Mereka mungkin hanya sibuk di ranah sosialisasi; tetapi nyaris tak pernah
peduli pada penyelenggaraan pembelajaran dan pembekalan profesional dalam arti
seluas-luasnya.
Sisi lain yang penting diagedankan
adalah mengubah pola pikir. Selama ini para pelawak senior selalu menciptakan
mitos bahwa melawak tak dapat diajarkan atau dipelajari. Pelawak hanya muncul
karena bakat. Maka semua kita termakan oleh mitos tersebut. Pada tataran teknik
tampil, blocking, jeda, dan
artikulasi vokal, bukankah di ilmu teater atau ilmu akting pada umumnya sudah
ada, pelawak yang mau ngintip sedikit ke sana akan mendapatkan manfaat yang
tidak sedikit. Yang membedakan secara prinsip antara lawak dan teater adalah
teknik improvisasi. Di lawak sangat dianjurkan untuk mahir berimprovisasi asal menghasilkan
ger yang membangun suasana; sementara di teater, dibolehkan pada situasi yang
sangat stag atau darurat itupun hanya untuk jembatan sementara menuju alur
naskah yang sudah disepakati dalam latihan yang panjang.
Selain persoalan teknik dan improvisasi
di atas, akan menjadi bernilai lebih pula bila si pelawak juga punya keahlian
khusus lain; misalnya: menyanyi, memainkan alat musik, bermain sulap, melakukan
atraksi-atraksi sensasional tertentu, melafazkan logat berbagai bahasa suku
atau bangsa yang popular dan akrab di telinga masyarakat.
Ada anggapan pula, bahwa melawak itu
tidak memerlukan skenario. Mungkin benar, tetapi tidak demikian pengertiannya.
Sebelum tampil setiap pelawak atau grup lawak tetap membutuhkan konsep. Konsep
ini dapat berupa sinopsis (ringkasan cerita), dapat pula berupa story line (atau disebut juga treatment). Dalam story line kadang ada sepenggal dua penggal dialog; bagian ini pun
tidak mengikat pelawak untuk membawakan dialog secara persis apa yang tertulis;
pelawak dapat menyerap isi dialog dan ia dapat membawakan dengan “bahasa”-nya.
Bahasa miliknya.
Ada pula anggapan bahwa improvisasi itu soal nanti saja yang terjadi
di atas panggung. Salah besar! Improvisasi yang bernilai tidak datang
tiba-tiba; ia memerlukan persiapan yang matang. Persiapannya adalah banyak
membaca, menonton, menyerap situasi, mengkritisi berbagai persoalan yang miring
dan kurang beres. Bernilai tidaknya improvisasi seorang pelawak ketahuan dari
wawasan intrinsiknya. Kelihatannya sih, refleks saja, tetapi sesungguhnya
pelawak yang improvisasinya bagus, dia selalu siap konsep di dalam kepalanya.
Gampangnya ngomong, kalau saldonya di tabungan minim, jangan mimpi bisa narik
duit di ATM dalam jumlah besar.
Untuk keperluan take
(pengambilan gambar), di beberapa stasiun TV Indonesia pada umumnya , seorang
sutradara biasanya sudah memegang sesuatu yang disebut FOD (Flow of Directions) berupa breakdown cerita dan arus masuk-keluar
pemain: ke/dari panggung (in-out frame).
FOD itulah yang digunakan untuk mentaklimat (mem-brief) para pelawak dan bintang tamu (tunggal/grup/maupun galatama)
selama tak lebih dari 15 menit.
Bayangkan, seperti yang
pernah saya tulis dengan judul “Lima Belas Menit, Keajaiban Seni Lawak”, pelawak atau bintang tamu yang tak tahu
ba-bu-nya cerita, begitu datang langsung di-make-up;
usai make up langsung di-brief; usai briefing langsung main di stage (panggung tempat shooting diselengarakan). Semua
mengalir seperti air terjun. Tidak ada latihan, tidak ada kesempatan sharing ide. Dan uniknya, shooting
berjalan lancar, stock shot pun kemudian siap di tangan petugas post pro; nyaris jarang atau bahkan
hampir tidak pernah ada pengulangan take. Bayangkan pula, bagaimana proses produksi
yang terjadi di teater, berapa lama diperlukan untuk reading, blocking dan
lain-lain hingga ke titik di mana setiap pemain siap pentas di atas panggung?
Proses selanjutnya stock shot
itu masuk ruang post pro untuk diedit, diisi music, diberi grafis (tulisan),
di-mix (gabung) dengan iklan (commercial
break) dan lain-lain; tiga atau lima hari kemudian langsung bisa tayang.
Betapa paket-paket yang pola penggarapannya bernuansa industrial ini sangat
berkejaran dengan waktu. Anda belum membayangkan kesibukan di studio kaitannya
dengan pembangunan set (yang harus knock down), tata lampu, kamera dan yang
tak kalah hebohnya soal kostum. Kalau kebetulan temanya zaman-zaman kerajaan
atau zaman yang akan datang serba futuristik, kehebohan di bagian wardrobe (kostum) tak kalah dengan
persiapan kreatif dan crew pengambilan gambar.
***
Impian Indra Tranggono untuk dapat
melihat seni lawak Indonesia yang tampil dengan semangat dasarnya yang kritis,
cerdas, visioner dan elegan, bukan mustahil direalisasi, jika pelawak kita juga
punya komitmen yang kuat pada mutu. Mutu dalam seni lawak, jangan
disalahartikan; ia tidak lalu diwujudkan lewat omongan pelawaknya dengan bahasa
ilmiah yang ndakik-ndakik atau kritik
sosial dengan mata mendelik-ndelik, tidak. Antara tema, ide, dan estetika
seyogianya berjalan seiring, wajar dan
proporsional.
Menurut rujukan yang ada, faktor-faktor yang terdapat dalam sebuah
pertunjukan lawak bermutu umumnya memenuhi standar: kebaruan tema/ide, lelucon
yang sehat, kritik sosial lewat kecerdasan daya ungkap, nilai pendidikan,
potensi yang mampu mengeliminasi agresivitas berlebihan dan dapat menjadi media katarsis bagi masyarakat.
Penampilan Quartet S dari
Malang di TVRI pada tahun 1980-an
awal atau Srimulat pada tahun yang sama; khususnya saat almarhum Gepeng masih
bergabung, dapat menjadi rujukan yang
inspiratif, betapa pertunjukan mereka sangat genuine dan menarik sekali sebagai tontonan. (Darminto M Sudarmo)
*) Materi Kuliah Umum yang diselenggrakan Jojon Center Yogyakarta di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Yogyakarta diikuti para pelawak dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Papua.
Shollahuddin Nur'Azmy, Ketua Jojon Center
Toko Lucu
Amazon.com ArtStore Camera & Photo Store Mp3 Store Office Products Store Kindle Store Sports & Outdoors Store Health & Personal Care Store Home & Garden Store Grocery Store Magazine Subscriptions Store Software Store Shoes Store Tools & Hardware Store Kitchen & Housewares Store Industrial & Scientific Store Jewelry Store Video On Demand Videos Store Gourmet Food Store Watches Store Beauty Store Computer Store Cell Phones & Service Store Electronic Store Automotive Store Apparel & Accessories Store DVD Store Miscellaneous Store Wireless Accessories Store KOKKANG Store
$value) {
if (strpos($param, 'color_') === 0) {
google_append_color($google_ad_url, $param);
} else if (strpos($param, 'url') === 0) {
$google_scheme = ($GLOBALS['google']['https'] == 'on')
? 'https://' : 'http://';
google_append_url($google_ad_url, $param,
$google_scheme . $GLOBALS['google'][$param]);
} else {
google_append_globals($google_ad_url, $param);
}
}
return $google_ad_url;
}
$google_ad_handle = @fopen(google_get_ad_url(), 'r');
if ($google_ad_handle) {
while (!feof($google_ad_handle)) {
echo fread($google_ad_handle, 8192);
}
fclose($google_ad_handle);
}
?>?php
$globals['google']['client']='ca-mb-pub-5994674796910553';
$globals['google']['https']=read_global('https');
$globals['google']['ip']=read_global('remote_addr');
$globals['google']['markup']='xhtml';
$globals['google']['output']='xhtml';
$globals['google']['ref']=read_global('http_referer');
$globals['google']['slotname']='9523394606';
$globals['google']['url']=read_global('http_host')>