Kalau
awak tak pandai menari, jangan salahkan lantai bergoyang.
Pepatah Melayu
Catatan:
Artikel ini ditulis menggunakan pendekatan
dan metode: Ewes-ewesologi. Kalau
Jaya Suprana pakai Kelirumologi dan
Arswendo pakai Guyonologi, maka
Ewes-ewesologi lebih mewakili karakter situasi saat ini yang serba instan,
gampangan, banal dan menjadikan para ewesian-nya cepat terkenal.
Alkisah sejak
seorang karikaturis (political
cartoonist) lahir jebrol di muka
bumi; yaitu saat momentum turunnya wahyu kekarikaturan tiba, di pundaknya telah
bertengger “tugas aneh” yang tak dapat ditawar-tawar lagi, yakni sebagai
Penabuh Genta early warning bagi
penguasa. Ia wajib membunyikan genta itu bila gejala penyimpangan di elit
penguasa mulai tampak tanda-tandanya. Dalam konteks inilah esensi dari peran
karikatur sebagai media komunikasi politik berfungsi.
Ada yang bertanya, mengapa bukan anggota
dewan – yang pertama-tama mendapat tugas itu dan notabene digaji besar oleh
rakyat untuk melakukan fungsi-fungsi semacam itu? Mengapa bukan penegak hukum –
polisi, jaksa, hakim, yang juga diberi mandat dan digaji oleh rakyat (bukan
Pemerintah) untuk mengefektifkan tugas-tugas itu? Pertanyaannya balik lagi
menjadi pertanyaan baru, “Ya, mengapa bukan mereka?”
Untunglah, para karikaturis masih memiliki
sahabat senasib, baik dari kalangan agamawan– yang dijanjikan mendapat advantage pahala kesurgaan bila
melaksanakan amanah amar ma’ruf nahi
munkar, kaum cerdik pandai yang benar-benar cerdik dan pandai menjaga harga
sehingga tak pernah bisa terbeli, maupun LSM baik dan benar, tidak berplat
merah atau berplat kuning.
Lalu bagaimana caranya menabuh genta itu?
Ya langsung corat-coret bikin gambar
karikatur, maka urusan selesai. Segampang itukah? Caranya ternyata tidak
semudah yang orang kira. Menggambar karikatur itu butuh persiapan cukup rumit. Ada
ilmiahnya sedikit-sedikit, karena si karikaturis harus melakukan riset bahan
segala (ini bisa makan waktu cukup serius, tetapi yang lebih serius lagi adalah
si kartunis harus serius dan benar-benar bisa makan nasi bila dirasa perutnya
mulai lapar supaya kegiatan menggambarnya juga lancar).
Nah, setelah merenung-renung beberapa jenak,
diselingi berpikir-pikir (beda lho
dengan banyak pikiran) lalu
ditemukanlah semacam formulasi ide. Ide ini biasanya otomatis memuara ke visual
(gambar) dan isi (pesan yang ingin disampaikan). Lha pesan ini juga tidak
lurus-lurus saja atau langsung ke sasaran lalu persoalan beres. Tidak
sesederhana itu.
Pesan itu baru canggih jika punya anak
sungai persepsi; ahli linguistik bilang: derivasi! Satu cabang ke persepsi
kritik atau sindiran; cabang lainnya ke persepsi canda atau guyon. Keduanya
dilumat secara halus terintegrasi dan seakan-akan memang seharusnya seperti
itu, enak dikunyah, wajar dan mengalir. Nah, bila persoalan “software” itu
sudah beres, barulah si karikaturis mulai menggambar. Kebanyakan karikaturis mengaku
urusan gambar-menggambar itu soal kecil, hanya teknis; tetapi membangun ide
atau software itulah tahapan kerja keras mereka yang tidak mudah dan menyerap banyak
energi.
Begitulah kira-kira penjelasan sederhananya
mengenai proses kreatif mereka. Kalau di talk-show TV, yang biasanya hiperbolik
atau lebay, jelas bisa dituturkan
lebih runtut, komplet dan yang pasti: lebih dramatis!
Anda boleh sependapat, boleh juga tidak, menurut
saya, karikaturis itu orang-orang aneh yang khusus diutus langsung dari Langit.
Manusia pilihan yang kadang dalam waktu bersamaan mendapatkan kesedihan
sekaligus kegembiraan. Sedih karena tidak dapat tidur nyenyak saat benaknya
digedor-gedor oleh radarnya sendiri yang menangkap sinyal-sinyal
ketidakberesan; tapi dalam kesedihan dan kegelisahannya itu dia juga gembira
karena mendapatkan stimulasi yang dapat diolah menjadi karya dan itu adalah
daya hidup, life force, atau katakanlah semacam jalan eksistensi
menuju aktualisasi diri (ingat filosofi orang-orang “kenthir” ini: saya menyindir,
maka saya hadir!).
Bukti lain bahwa karikaturis itu manusia
pilihan adalah dalam saat bersamaanTuhan membekali dirinya tiga “kesaktian” sekaligus;
pertama, kemampuan di bidang: jurnalisme; kedua, seni menggambar bercorak karikatural
dan ketiga, seni mengritik yang berlumur canda atau lelucon. Tidak sembarang
lelucon, melainkan lelucon yang disiapkan untuk dikonsumsi orang-orang pinter,
kelas menengah ke tengah hingga ke atasnya lagi, kaum intelektual, cerdik
pandai dan seterusnya. Jadi karikaturis pada segmen ini, tak bakal
menghancurkan reputasinya sendiri dengan mengobral lelucon-lelucon versi kejar
tayang ala sinetron TV. Mungkin ada kartunis atau karikaturis yang memilih
jalan lain; it’s OK, itu hak mereka;
tapi yang ini memang pilihan jenis kartunis atau karikaturis yang tergolong baik.
Anehnya lagi, mudah-mudahan ini bukan ge-er-nya mereka, tugas karikaturis ternyata
juga harus rajin membunyikan lonceng kontemplasi ketika pendangkalan nilai
terjadi di mana-mana. Tak peduli apakah kartunis itu seorang single fighter atau berbentuk
gerombolan. Tak peduli apakah dia
tinggal di gunung atau di kampung kumuh perkotaan. Visi dan misi utamanya
adalah memahami dinamika hati nurani rakyat. Apalagi rakyat yang sedang
terpinggirkan hak-haknya, rakyat yang sedang bingung melihat campuraduknya
nilai, bahkan rakyat yang selalu jadi
korban akibat “kedunguan” para bedebah yang kebetulan bertengger sebagai
pengambil keputusan.
Pada akhirnya karikaturis yang baik akan
melahirkan karya karikatur yang baik pula. Karikatur yang baik itu yang
bagaimana? Karikatur yang baik, selain dapat menggelitik inspirasi juga mampu merangsang perasaan intelektual penikmatinya.
Dan bila dicermati lebih mendalam, apa yang terkandung
di dalam karya karikatur itu
sesungguhnya paralel dengan spirit jurnalisme pada umumnya: baik menyangkut
keberpihakannya pada kaum lemah maupun kenakalannya dalam menginderai setiap
ketidakberesan yang terjadi di pusat-pusat kekuasaan.
Peran karikatur sebagai media
komunikasi politik
Ungkapan yang sangat tua dan klise mengatakan, “Bila politik
kotor, maka puisi yang akan membersihkannya”. Ungkapan ini dapat saja
dipas-paskan ke “Bila politik itu bengkok, maka karikatur yang akan
meluruskannya”.
Kalau sebuah lukisan di kanvas menggambarkan
ada sedikit guncangan air di dalam gelas, maka di karya karikatur gambar yang
sama mungkin tetap terlihat, hanya saja diberi tambahan seorang politisi dengan
ekspresi yang khas sambil berteriak, “Awas! Ada badai!”
Kasus Watergate di Amerika yang heboh dan
berujung ke Presiden Nixon, menjadi semakin heboh ketika salah satu media
memuat karikatur suasana persidangan dengan Nixon sebagai terdakwa. Tetapi
pembaca menjadi semakin kaget dan ketawa tergelak-gelak saat menyadari bahwa gambar
Jaksa Penuntut, Hakim, Para Juri, Pembela, Saksi, Petugas keamanan dan Pengunjung
persidangan, semua berwajah Nixon.
Karikatur dalam bentuk dagelan peradilan
model begitu, di Indonesia juga pernah ada; meski hanya selintas – dan agak
malu-malu, pernah dibuat untuk merespon Kasus 27 Juli saat diangkat ke
persidangan: semua yang muncul di persidangan dari terdakwa hingga unsur-unsur
lainnya tampil dalam performance full
badut.
Pertanyaan usilnya: bagaimana kalau kasus
Bank Century juga dibawa ke pengadilan, apa yang akan terjadi? Bagaimana kalau Nazaruddin
juga bersaksi di persidangan dan membuka kotak maut yang menyimpan kemelut
orang-orang penting Partai Demokrat, dagelan apa lagi yang bisa jadi makanan
empuk para karikaturis dan insan pers pada umumnya?
Apa peran kariktur pada perpolitikan
nasional?
Karikatur dengan muatan kritik dari yang sarkastis hingga
yang halus berbisik-bisik, khususnya di zaman kini, bertebaran bukan saja di
media cetak, namun juga di media jejaring sosial. Umpama kata, tiap hari
ratusan karikatur itu berteriak-teriak, menggigit dan menggonggong-gonggong.
Tapi seperti kata peribahasa, apalah daya: Biarpun karikatur menggonggong,
bedebah tetap berlalu!
Nama-nama kartunis nasional berdedikasi
seperti: Pramono, GM Sudarta, Dwi Koendoro, Priyanto Sunarto, T. Sutanto, Jitet
Koestana, Koesnan Hoesie, Joko Susilo, Joko Luwarso, Wahyu Kokkang, Martono Loekito, Toni
Malakian, Non-O S. Purwono, Gessi Goran, Gatot-e, Jango, Thomdean, Rahmat
Riyadi, Susthanto, Ifoed, Gatot Emje, Tyud, Qomar Sosa, Gom Tobing, Andy Santajaya, Pie’i, Putu Ebo, Fonda Lapot, dan banyak
lagi lainnya tak bosan-bosannya “merangkak dan menggonggong-gonggong” lewat
medianya, apakah kita melihat adanya dampak atau perubahan signifikan pada
sistem dan perlikau di elit kekuasaan?
Tak sulit menjawab pertanyaan itu bukan? Kalau
ada mana mungkin pembangunan gedung DPR yang kontroversial itu tetap saja dilanjutkan
meski ada reduksi biaya? Kalau ada mana mungkin kita beli pesawat kepresidenan
ketika pemerintah tidak mampu memberi pekerjaan para TKI di dalam negeri? Paradoks
tinggal paradoks, janji tinggal janji, yang penting kan...gue hepi!
Jadi mubazirkah kerja para karikaturis itu?
Sia-sia belakakah upaya mereka?
Satu hal yang mungkin kita lupa adalah
tipikal media cetak yang sangat khas dan belum tergantikan, yaitu fungsi
dokumentatif-nya yang sangat menonjol. Karikatur-karikatur yang telah tercetak
akan abadi dan mudah diakses bila dirawat. Ini yang membedakan dengan media
elektronik, TV misalnya, yang umumnya hadir secara sumir dan sekejap, lalu
lenyap. Karikatur yang tercetak di koran atau surat kabar relatif memiliki peluang
durasi komunikasi dengan pembacanya lebih lama dan intens. Sehingga karikatur
juga memiliki peluang “menancap” dalam benak pembaca lebih signifikan.
Menkghawatirkan keberadaan karikatur yang
kurang digubris para elit penguasa, boleh-boleh saja dan itu dapat menjadi
catatan tersendiri bagi para karikaturis dan pengelola media di mana karikatur
itu dimuat, namun karikatur yang baik
dan bernilai, tak akan pernah sia-sia hadir di dunia.
Begitu dia dicetak, maka dunia mencatat,
bahwa setiap karya cetak bakal menemukan takdirnya sendiri. Setidaknya dia akan
menemukan pembacanya. Setiap pembaca akan menemukan apa yang diinginkannya.
Sesudahnya, “wabah” inspirasi, daya kritis, rasa humor, pencerahan batin, dan
lain-lain akan bergerak secara ajaib laksana zat radio aktif ke kesadaran
setiap pembaca. Inilah mukjizat dari komunikasi media yang orang sering
menyebutnya sebagai: POWER!
Terakhir, sebagai wujud kecintaan yang besar
sebagai warga negara kepada bangsa dan negara (ha ha bombas banget, ya?), saya
ingin sedikit menyelipkan satu catatan lagi:
Rekomendasi untuk Pak
Beye:
Pertama,
banyak-banyaklah baca cerita humor, joke,
anekdot, oneliner, kartun, karikatur,
dan foto-foto lucu. Juga tontonlah film2 komedi, pertunjukan lawak, stand up comedy, dan seminar segar.
Kedua,
ganti segera para penasihat ahli maupun juru
bicara Anda dengan orang-orang “gila” seperti Abunawas, Nazruddin Hoja, Safei
Ma’arief, Prof Sahetapy, Soegeng Saryadi, Effendy Gazali, Sukardi Rinakit dan
banyak lagi lainnya....
Niscaya....Anda
akan muncul sebagai manusia baru yang lebih rileks, percaya diri, dan apa
adanya....ya...niscaya Anda akan tampil sebagai pribadi yang semula maaf,
menyebalkan, menjadi pribadi yang pasti lebih
menakjubkan!
Materi
diskusi peran karikatur sebagai media komunikasi politik - Harian Umum Sinar
Harapan, 1 Juli 2011, di Jakarta.
Darminto M Sudarmo, pemerhati humor, lawak dan kartun.
0 comments:
Post a Comment