Tuesday, November 8, 2011

Karikatur Menggonggong Bedebah Tetap Berlalu!




 
Kalau awak tak pandai menari, jangan salahkan lantai bergoyang
Pepatah Melayu



Catatan:
Artikel ini ditulis menggunakan pendekatan dan metode: Ewes-ewesologi. Kalau Jaya Suprana pakai Kelirumologi dan Arswendo pakai Guyonologi, maka Ewes-ewesologi lebih mewakili karakter situasi saat ini yang serba instan, gampangan, banal dan menjadikan para ewesian-nya cepat terkenal.

Alkisah sejak seorang karikaturis (political cartoonist) lahir jebrol di muka bumi; yaitu saat momentum turunnya wahyu kekarikaturan tiba, di pundaknya telah bertengger “tugas aneh” yang tak dapat ditawar-tawar lagi, yakni sebagai Penabuh Genta early warning bagi penguasa. Ia wajib membunyikan genta itu bila gejala penyimpangan di elit penguasa mulai tampak tanda-tandanya.  Dalam konteks inilah esensi dari peran karikatur sebagai media komunikasi politik berfungsi.
Ada yang bertanya, mengapa bukan anggota dewan – yang pertama-tama mendapat tugas itu dan notabene digaji besar oleh rakyat untuk melakukan fungsi-fungsi semacam itu? Mengapa bukan penegak hukum – polisi, jaksa, hakim, yang juga diberi mandat dan digaji oleh rakyat (bukan Pemerintah) untuk mengefektifkan tugas-tugas itu? Pertanyaannya balik lagi menjadi pertanyaan baru, “Ya, mengapa bukan mereka?”
Untunglah, para karikaturis masih memiliki sahabat senasib, baik dari kalangan agamawan– yang dijanjikan mendapat advantage pahala kesurgaan bila melaksanakan amanah amar ma’ruf nahi munkar, kaum cerdik pandai yang benar-benar cerdik dan pandai menjaga harga sehingga tak pernah bisa terbeli, maupun LSM baik dan benar, tidak berplat merah atau berplat kuning.
Lalu bagaimana caranya menabuh genta itu?
Ya langsung corat-coret bikin gambar karikatur, maka urusan selesai. Segampang itukah? Caranya ternyata tidak semudah yang orang kira. Menggambar karikatur itu butuh persiapan cukup rumit. Ada ilmiahnya sedikit-sedikit, karena si karikaturis harus melakukan riset bahan segala (ini bisa makan waktu cukup serius, tetapi yang lebih serius lagi adalah si kartunis harus serius dan benar-benar bisa makan nasi bila dirasa perutnya mulai lapar supaya kegiatan menggambarnya juga lancar).
Nah, setelah merenung-renung beberapa jenak, diselingi berpikir-pikir (beda lho dengan banyak pikiran) lalu ditemukanlah semacam formulasi ide. Ide ini biasanya otomatis memuara ke visual (gambar) dan isi (pesan yang ingin disampaikan). Lha pesan ini juga tidak lurus-lurus saja atau langsung ke sasaran lalu persoalan beres. Tidak sesederhana itu.
Pesan itu baru canggih jika punya anak sungai persepsi; ahli linguistik bilang: derivasi! Satu cabang ke persepsi kritik atau sindiran; cabang lainnya ke persepsi canda atau guyon. Keduanya dilumat secara halus terintegrasi dan seakan-akan memang seharusnya seperti itu, enak dikunyah, wajar dan mengalir. Nah, bila persoalan “software” itu sudah beres, barulah si karikaturis mulai menggambar. Kebanyakan karikaturis mengaku urusan gambar-menggambar itu soal kecil, hanya teknis; tetapi membangun ide atau software itulah tahapan kerja keras mereka yang tidak mudah dan menyerap banyak energi.
Begitulah kira-kira penjelasan sederhananya mengenai proses kreatif mereka. Kalau di talk-show TV, yang biasanya hiperbolik atau lebay, jelas bisa dituturkan lebih runtut, komplet dan yang pasti: lebih dramatis!
Anda boleh sependapat, boleh juga tidak, menurut saya, karikaturis itu orang-orang aneh yang khusus diutus langsung dari Langit. Manusia pilihan yang kadang dalam waktu bersamaan mendapatkan kesedihan sekaligus kegembiraan. Sedih karena tidak dapat tidur nyenyak saat benaknya digedor-gedor oleh radarnya sendiri yang menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan; tapi dalam kesedihan dan kegelisahannya itu dia juga gembira karena mendapatkan stimulasi yang dapat diolah menjadi karya dan itu adalah daya hidup, life force,  atau katakanlah semacam jalan eksistensi menuju aktualisasi diri (ingat filosofi orang-orang “kenthir” ini: saya menyindir,  maka saya hadir!).
Bukti lain bahwa karikaturis itu manusia pilihan adalah dalam saat bersamaanTuhan membekali dirinya tiga “kesaktian” sekaligus; pertama, kemampuan di bidang: jurnalisme; kedua, seni menggambar bercorak karikatural dan ketiga, seni mengritik yang berlumur canda atau lelucon. Tidak sembarang lelucon, melainkan lelucon yang disiapkan untuk dikonsumsi orang-orang pinter, kelas menengah ke tengah hingga ke atasnya lagi, kaum intelektual, cerdik pandai dan seterusnya. Jadi karikaturis pada segmen ini, tak bakal menghancurkan reputasinya sendiri dengan mengobral lelucon-lelucon versi kejar tayang ala sinetron TV. Mungkin ada kartunis atau karikaturis yang memilih jalan lain; it’s OK, itu hak mereka; tapi yang ini memang pilihan jenis kartunis atau karikaturis yang tergolong baik.
Anehnya lagi, mudah-mudahan ini bukan ge-er-nya mereka, tugas karikaturis ternyata juga harus rajin membunyikan lonceng kontemplasi ketika pendangkalan nilai terjadi di mana-mana. Tak peduli apakah kartunis itu seorang single fighter atau berbentuk gerombolan.  Tak peduli apakah dia tinggal di gunung atau di kampung kumuh perkotaan. Visi dan misi utamanya adalah memahami dinamika hati nurani rakyat. Apalagi rakyat yang sedang terpinggirkan hak-haknya, rakyat yang sedang bingung melihat campuraduknya nilai, bahkan rakyat yang selalu jadi korban akibat “kedunguan” para bedebah yang kebetulan bertengger sebagai pengambil keputusan.
Pada akhirnya karikaturis yang baik akan melahirkan karya karikatur yang baik pula. Karikatur yang baik itu yang bagaimana? Karikatur yang baik, selain dapat menggelitik inspirasi juga mampu merangsang perasaan intelektual penikmatinya.
Dan bila dicermati lebih mendalam, apa yang terkandung di dalam karya karikatur  itu sesungguhnya paralel dengan spirit jurnalisme pada umumnya: baik menyangkut keberpihakannya pada kaum lemah maupun kenakalannya dalam menginderai setiap ketidakberesan yang terjadi di pusat-pusat kekuasaan.
Peran karikatur sebagai media komunikasi politik
Ungkapan yang sangat tua dan klise mengatakan, “Bila politik kotor, maka puisi yang akan membersihkannya”. Ungkapan ini dapat saja dipas-paskan ke “Bila politik itu bengkok, maka karikatur yang akan meluruskannya”.

Kalau sebuah lukisan di kanvas menggambarkan ada sedikit guncangan air di dalam gelas, maka di karya karikatur gambar yang sama mungkin tetap terlihat, hanya saja diberi tambahan seorang politisi dengan ekspresi yang khas sambil berteriak, “Awas! Ada badai!”
Kasus Watergate di Amerika yang heboh dan berujung ke Presiden Nixon, menjadi semakin heboh ketika salah satu media memuat karikatur suasana persidangan dengan Nixon sebagai terdakwa. Tetapi pembaca menjadi semakin kaget dan ketawa tergelak-gelak saat menyadari bahwa gambar Jaksa Penuntut, Hakim, Para Juri, Pembela, Saksi, Petugas keamanan dan Pengunjung persidangan, semua berwajah Nixon.
Karikatur dalam bentuk dagelan peradilan model begitu, di Indonesia juga pernah ada; meski hanya selintas – dan agak malu-malu, pernah dibuat untuk merespon Kasus 27 Juli saat diangkat ke persidangan: semua yang muncul di persidangan dari terdakwa hingga unsur-unsur lainnya tampil dalam performance full badut.
Pertanyaan usilnya: bagaimana kalau kasus Bank Century juga dibawa ke pengadilan, apa yang akan terjadi? Bagaimana kalau Nazaruddin juga bersaksi di persidangan dan membuka kotak maut yang menyimpan kemelut orang-orang penting Partai Demokrat, dagelan apa lagi yang bisa jadi makanan empuk para karikaturis dan insan pers pada umumnya?
Apa peran kariktur pada perpolitikan nasional?
Karikatur dengan muatan kritik dari yang sarkastis hingga yang halus berbisik-bisik, khususnya di zaman kini, bertebaran bukan saja di media cetak, namun juga di media jejaring sosial. Umpama kata, tiap hari ratusan karikatur itu berteriak-teriak, menggigit dan menggonggong-gonggong. Tapi seperti kata peribahasa, apalah daya: Biarpun karikatur menggonggong, bedebah tetap berlalu!

Nama-nama kartunis nasional berdedikasi seperti: Pramono, GM Sudarta, Dwi Koendoro, Priyanto Sunarto, T. Sutanto, Jitet Koestana, Koesnan Hoesie, Joko Susilo, Joko Luwarso, Wahyu Kokkang, Martono Loekito, Toni Malakian, Non-O S. Purwono, Gessi Goran, Gatot-e, Jango, Thomdean, Rahmat Riyadi, Susthanto, Ifoed, Gatot Emje, Tyud, Qomar Sosa, Gom Tobing, Andy Santajaya, Pie’i, Putu Ebo, Fonda Lapot, dan banyak lagi lainnya tak bosan-bosannya “merangkak dan menggonggong-gonggong” lewat medianya, apakah kita melihat adanya dampak atau perubahan signifikan pada sistem dan perlikau di elit kekuasaan?
Tak sulit menjawab pertanyaan itu bukan? Kalau ada mana mungkin pembangunan gedung DPR yang kontroversial itu tetap saja dilanjutkan meski ada reduksi biaya? Kalau ada mana mungkin kita beli pesawat kepresidenan ketika pemerintah tidak mampu memberi pekerjaan para TKI di dalam negeri? Paradoks tinggal paradoks, janji tinggal janji, yang penting kan...gue hepi!
Jadi mubazirkah kerja para karikaturis itu? Sia-sia belakakah upaya mereka?
Satu hal yang mungkin kita lupa adalah tipikal media cetak yang sangat khas dan belum tergantikan, yaitu fungsi dokumentatif-nya yang sangat menonjol. Karikatur-karikatur yang telah tercetak akan abadi dan mudah diakses bila dirawat. Ini yang membedakan dengan media elektronik, TV misalnya, yang umumnya hadir secara sumir dan sekejap, lalu lenyap. Karikatur yang tercetak di koran atau surat kabar relatif memiliki peluang durasi komunikasi dengan pembacanya lebih lama dan intens. Sehingga karikatur juga memiliki peluang “menancap” dalam benak pembaca lebih signifikan.
Menkghawatirkan keberadaan karikatur yang kurang digubris para elit penguasa, boleh-boleh saja dan itu dapat menjadi catatan tersendiri bagi para karikaturis dan pengelola media di mana karikatur itu dimuat, namun  karikatur yang baik dan bernilai, tak akan pernah sia-sia hadir di dunia.
Begitu dia dicetak, maka dunia mencatat, bahwa setiap karya cetak bakal menemukan takdirnya sendiri. Setidaknya dia akan menemukan pembacanya. Setiap pembaca akan menemukan apa yang diinginkannya. Sesudahnya, “wabah” inspirasi, daya kritis, rasa humor, pencerahan batin, dan lain-lain akan bergerak secara ajaib laksana zat radio aktif ke kesadaran setiap pembaca. Inilah mukjizat dari komunikasi media yang orang sering menyebutnya sebagai: POWER!
Terakhir, sebagai wujud kecintaan yang besar sebagai warga negara kepada bangsa dan negara (ha ha bombas banget, ya?), saya ingin sedikit menyelipkan satu catatan lagi:
Rekomendasi untuk Pak Beye:
Pertama, banyak-banyaklah baca cerita humor, joke, anekdot, oneliner, kartun, karikatur, dan foto-foto lucu. Juga tontonlah film2 komedi, pertunjukan lawak, stand up comedy,  dan seminar segar.
Kedua,  ganti segera para penasihat ahli maupun juru bicara Anda dengan orang-orang “gila” seperti Abunawas, Nazruddin Hoja, Safei Ma’arief, Prof Sahetapy, Soegeng Saryadi, Effendy Gazali, Sukardi Rinakit dan banyak lagi lainnya....
Niscaya....Anda akan muncul sebagai manusia baru yang lebih rileks, percaya diri, dan apa adanya....ya...niscaya Anda akan tampil sebagai pribadi yang semula maaf, menyebalkan, menjadi pribadi yang pasti lebih menakjubkan!
 
Materi diskusi peran karikatur sebagai media komunikasi politik - Harian Umum Sinar Harapan, 1 Juli 2011, di Jakarta.

Darminto M Sudarmo, pemerhati humor, lawak dan kartun.

0 comments:

Post a Comment


Toko Lucu

Amazon.com ArtStore Camera & Photo Store Mp3 Store Office Products Store Kindle Store Sports & Outdoors Store Health & Personal Care Store Home & Garden Store Grocery Store Magazine Subscriptions Store Software Store Shoes Store Tools & Hardware Store Kitchen & Housewares Store Industrial & Scientific Store Jewelry Store Video On Demand Videos Store Gourmet Food Store Watches Store Beauty Store Computer Store Cell Phones & Service Store Electronic Store Automotive Store Apparel & Accessories Store DVD Store Miscellaneous Store Wireless Accessories Store KOKKANG Store

$value) { if (strpos($param, 'color_') === 0) { google_append_color($google_ad_url, $param); } else if (strpos($param, 'url') === 0) { $google_scheme = ($GLOBALS['google']['https'] == 'on') ? 'https://' : 'http://'; google_append_url($google_ad_url, $param, $google_scheme . $GLOBALS['google'][$param]); } else { google_append_globals($google_ad_url, $param); } } return $google_ad_url; } $google_ad_handle = @fopen(google_get_ad_url(), 'r'); if ($google_ad_handle) { while (!feof($google_ad_handle)) { echo fread($google_ad_handle, 8192); } fclose($google_ad_handle); } ?>