|  | 
| hiburan.kompasiana.com | 
Lomba Stand Up Comedy (SUC) yang dihelat Kompas TV telah rampung. Di babak final, Ryan berhasil  mengungguli Akbar. Jakarta menang atas Surabaya.
Darminto M Sudarno, salah 
satu pakar humor yang dimiliki negeri ini, tak melewatkan momen itu. Di 
Facebook, dini hari tadi, mantan pemimpin redaksi majalah Humor dan penulis banyak buku tentang humor itu membuat catatan khusus.
Mengutip WS Rendra, Mas Darminto berpendapat, sebaiknya tidak ada nomor satu atau nomor dua untuk karya seni.
“Risiko yang paling sulit dihindari kalau seni dilombakan adalah pasti ada pihak yang merasa terluka citarasa atau taste-nya.
 Sejarah lomba seni selalu mengulang “tragedi” itu. Luka-luka yang lain 
bisa juga mengenai  persepsi tentang estetika, nilai dan masalah 
subyektif lainnya,” ujarnya.
Mas Darminto lantas menyuguhkan plus-minus kedua finalis. Kelebihan Ryan, menurutnya, ia kuat dalam mengolah pertunjukan; flow/speed tergarap, sehingga lolos dari situasi yang stag; jeda di-manage dengan baik dan audience memberikan feed back yang optimal.
Kekurangan Ryan, di mata 
Mas Darminto, terletak pada tema. “Meski sanggup mengolah hal-hal kecil 
dan sehari-hari menjadi sesuatu yang menarik namun kurang memberi 
kontribusi intelektual dan bahasa yang sangat ABG, hanya dapat dipahami 
oleh publik (TV) yang sangat segmented,” tuturnya.
Sementara itu, kelebihan 
Akbar adalah perform menawan dan relatif mulus, karena jam terbangnya 
lumayan memadai; flow/speed meski terkadang ada stagnya, relatif dia 
bisa melarikan itu ke kilah yang reasonable; penonton (bukan orang 
bawaannya, artinya lebih fair) rata-rata memberikan respon dan interaksi
 yang cukup meriah, bahkan di akhir perform-nya di Grand Final, tepuk 
tangan yang diberikan padanya sangat panjang; dan materi atau content 
justru lebih kaya dan bervariasi, bahkan ketika menyitir masalah sosial 
politik, ia tampak lebih sanggup dan kuat dibanding Ryan.
“Salah satu goal 
pertunjukan Stand Up Comedy yang berhasil adalah mampu memberikan 
renungan intelektual, setelah penonton pulang,” ia menegaskan.
Sisi minus Akbar, 
berdasarkan pengamatan Mas Darminto, ialah sering keceplosan atau ikut 
hanyut menertawakan leluconnya sendiri. “Komedian profesional tahu 
posisinya sebagai pemain, bukan merangkap sebagai penonton. Artinya 
komedian yang menertawakan leluconnya sendiri tidak tahu artinya 
profesi,” tandasnya.
Setelah menimbang 
plus-minus itu, tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras dewan juri dan 
pihak Kompas TV, Mas Darminto menyodorkan dua kemungkinan.
“Pertama, Akbar yang juara
 pertama. Karena selain wawasannya luas, lebih pas bagi publik TV yang 
notabene berpenonton heterogen. Dan kedua, baik Ryan maupun Akbar 
dinobatkan jadi Juara Pertama,” tuturnya.
***
Butet Kartaredjasa—anggota
 Dewan Juri SUC Kompas TV bersama Indro Warkop dan Astrid—rupanya 
sepakat dengan kemungkinan kedua yang disodorkan Darminto M Sudarno.
“Jika dimungkinkan, sakjane (sebenarnya) aku lebih suka jika keduanya Juara I, Bung,” Butet berkomentar.
Danny de Humor, pengamat humor yang cukup senior, memperkukuh kemungkinan yang dibuat Mas Darminto.
“Tujuan
 stand up comedy adalah untuk mencari lawakan yg cerdas. Oleh karena 
itu, saya berpendapat, Ryan menang bagi para juri, Akbar menang di hati 
penonton yang egois terhadap materi yg cerdas yg proses kreatifnya tidak
 mudah!” tulisnya.
Pendapat lain disampaikan Bambang Haryanto, blogger dan penulis buku humor. “Saya ingin menambahkan tentang tiga tugas kaum komedian tunggal, yaitu berusaha membuat audien to laugh, to think and to change,” ungkapnya.
Sayang
 sekali, Iwel Wel—komedian yang kerap mondar-mandir di layar kaca—tak 
melontarkan opininya, walau ikut menyimak diskusi itu.
Saya, si anak kemarin sore yang kebetulan diajak nimbrung, hanya menambahkan dua hal—di luar materi lawakan.
Pertama, saya punya dugaan
 kuat, dewan juri sebenarnya tidak bulat dalam mengambil keputusan. 
Pengakuan Mas Butet adalah salah satu buktinya. Dengan demikian, 
muncullah apa yang disebut “dissenting opinion”. Katakanlah, misalnya, 
Mas Butet lebih condong ke Akbar dan Mas Indro ke Ryan. Dengan demikian,
 suara Astrid—si artis muda itu—jadi penentu.
Mendadak saya teringat 
komentar Astrid pada 3 Desember 2011, setelah Ryan tampil. Dengan lagak 
ABG yang sedang dirundung asmara, Astrid berkata, “Ryan, kalau Akbar 
tadi kan obat penurun panas. Kalau kamu tuh, tahu nggak apa? Kamu tuh…. 
Kamu tuh vitamin buatku, Ryan. Membuat hatiku berwarna, mataku 
berbinar-binar, hatiku berdansa. Kamu sempurna, Ryan.”
Kedua, perhelatan SUC 
Kompas TV ini untuk kesekian kali meneguhkan superioritas “lu-gue” 
ketimbang “aku-sampean”. Pihak Kompas TV tentu punya pertimbangan 
sendiri soal ini. Apa lagi kalau bukan pertimbangan pasar?
Kita tahu, Kompas TV 
sejauh ini hadir di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, 
Palembang, Pontianak, Makassar, Bali. Meski memasang tagline
 “Menginspirasi Indonesia”, setelah perhelatan SCU ini rampung, saya 
kuatir Kompas TV hanya akan memperpanjang daftar penyelanggara siaran TV
 yang Jakarta centris.
Salam humor!
Rawamangun, 18 Desember 2011